Akhirnya, libur semester telah tiba, aku bisa rajin bermalas-malasan sekarang "hahaha." tapi kali ini cukup membosankan, biasanya aku habiskan waktu libur dengan bermain game dan menyelesaikan semua permainanku, tapi kali ini berbeda dan tifak akan pernah lagi, ayah telah membuang game beserta hardisknya.
Seharian aku cuma berbaring, kadang latihan silat di kamar, aku mencoba menggambar tapi mulai membosankan, dan pada akhirnya rebahan adalah solusinya. Aku harus bersabar sampai ayah kembali ke kantornya beberap hari kedepan, agar aku bisa keluar dan mengunjungi markas. Aku berniat untuk memberikan uang yang pernah kudapat dari bang Alex, mereka kawan-kawan terbaikku, aku harus membalasnya.
Aku melihat kebalik jendela, terlihat tetanggaku sedang menghabiskan musim panasnya dengan berkumpul bersama keluarganya, mereka terlihat harmoni dan sagat hangat. Aku tersenyum seakan kebahagiaan mereka dapat aku rasakan.
Terbayang juga sosok Ica dan keluarganya yang sangat paham dengan agama, tutur kata lembut baik hati dan sangat berilmu.
"Laah kok aku ngebayangin Ica ya?, sungguh aku kok jadi rindu, tapi, apakah Ica juga merindukanku?, astaga mana mungkin itu terjadi, siapalah aku ini, hahaha." Aku tertawa dalam hati.
Ica tidak hanya cantik dan baik, ia juga sangat cerdas. Kelasku jadi juara umum porsesi kemarin dengan menyumbang 10 piala emas, 5 emas dari Ica pada cabang lomba, Pidato, KTI, Kultum, Cerdas cermat, dan Puisi, selebihnya masing-masing 1 piala emas dan diantaranya aku yang berhasil juara pencak silat, tapi sayangnya piala itu tidak bisa diselamatkan lagi setelah dirusak oleh Farel waktu itu.
Buuug...
tiba-tiba batu berlapiskan kertas melayang masuk ke kamarku.
"Waah, siapa yang lempar batu ke kamarku" aku terheran-heran.
Sepertinya ada sesuatu, batu berlapiskan kertas itu ternyata di ikat karet, ini pasti adalah surat. Aku membuka kertas itu dan benar saja, ternyata surat kiriman bang Jack.
"Saya Jack: Sorry bang Rangga awak lempar batu, bang Hasnuddin masuk rumah sakit, sekarang awak ada di depan gang 1, cepat bang kita pergi jenguk bang Hasnuddin."
"Ya ampun! kok bisa!!" aku panik.
Aku sungguh bingung, terlihat ayah lagi duduk di ruang tamu, satu satunya pintu yang terbuka cuma pintu ruang tamu, kayaknya aku harus kabur lagi lewat jendela, tapi kali ini aku tidak boleh ketahuan, terakhir kali aku ketahuan, tanganku hampir dipatah Ayah, tapi kali ini tidak apa-apa, bang Hasnuddin lebih penting bagiku.
Kamarku ada dilantai dua, sangat sulit untuk keluar lewat jendela tanpa pengaman, tapi aku sudah membuat tangga sendiri dari kain yang ku kumpulkan lalu aku satu-satukan untuk mencoba kabur sebelumnya. Tanggaku sudah siap, aku harus mengunci pintu dan memutar musik andalanku yakni album Green Day band Rock asal Amerika.
Sekarang pukul 14.00, aku masih punya waktu satu jam hingga jam 15.00 sebelum ayah kembali mengecek kamarku. Aku berhasil keluar, perlahan aku mengendap-endap dan memanjat dinding pagar rumah dan berhasil keluar dari rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Streets are Quiet (Novel)
Teen FictionBayangan itu muncul lagi, aku terperangkap dan merasa tubuhku sedang dikuasainya. Aku membunuh semua yang ada di hadapan, tak ada yang tersisa kecuali diriku dan aku, siapa aku sebenarnya...? Akhir sebuah derita adalah penderitaan, yaa itulah kata s...