✰ SANG AYAH ✰

1 1 0
                                    


"Ayah... ayah bangun ayah, Jihan sudah terlambat kesekolah niih, ayaaah!!!" Teriak Jihan ditelingaku sembari terus mebolak balik kepalaku.

"Iya, iya Jihan ayah sudah bangun ini, Ayah mau mandi dulu ya?" Tanyaku ke Jihan.

"Tidak Usaaaah ayaaah, Jihan sudah terlambat niih, nanti dimarahi guru, kalau guru marah, Jihan akan dikeluarkan dari sekolah, kalau Jihan dikeluarkan, Jihan tidak bisa jadi Dokterrrr Ayaaaaah!!!" Jihan sudah marah-marah, cerewetnya minta ampun. Walau dia baru kelas 5 SD tapi semangatnya untuk belajar sangat luar biasa, beda dengan diriku sewaktu sekolah dulu.

"Iya, Iya jangan tanyak bunda ya, nanti Ayah bisa dimarahi kalau tau Ayah belum mandi." Jawabku kepada Jihan.

Kali ini Jihan ingin diantar pake Vespi, supaya lebih cepat dan bisa nyalip-nyalip kalau macet. Vespi berbunyi riang, Jihan terlihat bahagia walau sedikit cemas kareba takut terlambat.

Walau masih SD, Jihan terlihat seperti anak seumuran SMP, mungkin jika Jihan sudah SMA ia akan terlihat seperti Mahasiswa. Ia mampu memungsikan dengan baik logikanya sehingga ia tumbuh dewasa lebih cepat sebelum waktunya. Sedari kelas 1 hingga kelas 5 SD, ia selalu mendapatkan peringkat pertama.

"Daaah Ayah, Jihan nasuk kelas dulu." Jihan dengan tergesa-gesa melompat dari motor.

"Waah lupa salim kepada Ayah?" Saking tergesa gesanya Jihan sampai lupa mencium tanganku.

"Maaf Ayah, Jihan cium jauh saja ayah, ummmah dadaaa," Ia melambai dan tersenyum riang dibalik gerbang sekolahnya.

Seketika air mataku menetes, mengingat kisah di mana diriku selalu dimarahi Ayah sewaktu kecil. Tapi sedari itu, aku meniatkan diri agar memperlakukan Jihan sangat jauh berbeda dari Ayahku.

Kriiing... Kriing Kriiing...

Bel sekolah berbunyi, silang beberapa menit di susul lagu Berkibarlah Benderaku. Aku menunggu Jihan di persimpangan Jalan depan sekolah, sedikit bercerita dengan penjual Bakso di sampingku yang ternyata anaknya satu kelas dengan Jihan. Aku membelikan Bakso ini kepada Jihan yang sangat suka dengan Bakso, berharap ia senang.

Di pinggir trotoar, Jihan terlihat bahagia dan tersenyum Riang, melihatnya seperti ini, aku sangat sayang dan terus menjaga anak satu-satuku ini. Aku merasa rembesan air mata akan keluar, tapi angin terys menabrak wajahku di siang ini, membantu untuk menahannya haru.

Aku melambai kepada Jihan yang juga melambai kepadaku, Aku akan menyebrang jalan ini dan segera pulang kerumah. Tapi siapa sangka tiba-tiba mobil Offroad putih seketika berhenti di depan Jihan. Turun beberapa orang dan sontak merangkul Jihan untuk masuk kemobil, orang-orang inipun pergi.

Dadaku sesak seketika, tidak mungkin Jihan diculik, aku mengejar Mobil itu, tapi umur Vespi yang semakin Tua tidak mampu mengejar mobil yang berjalan secepat itu.

Aku melihat dari kejauhan di balik kaca mobil belakang, nampak Jihan berusaha minta tolong, tapi suaranya tidak terdengar. Melihat Jihan yang menangis di atas mobil sontak membuatku ikut menangis, anak satu-satuku kini diambil orang.

Aku tidak menyerah, ku susuri Kota Nusa ini untuk mencari keberadaan mereka, setiap orang aku tanyai tentang ciri-ciri mobil yang melintas, setiap sudut kota dan tempat-tempat yang pernah menjadi persembunyian para Geng kota ini aku susuri semuanya, tapi sial pukul 15.00 tepat, aku belum juga menemukannya.

Hari perlahan pergi, Air mataku tak terhitung berapa banyak yang telah tumpah, dadaku sakit sekali, seakan kena pukulan tinju yang sangat banyak.

Keresahan dan kecemasanku bertambah, ketika Vespi ternyata kehabisan bensin, aku tidak tahu aku sudah ada di mana ini. Aku turun dan berjalan sedikit menyusuri perkampungan yang baru aku masuki, berharap ada yang menjual bensin eceran. Namun semuanya sia-sia tak ada yang menjual bensin di sini.

The Streets are Quiet (Novel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang