Aku berlari sangat cepat, menyusuri setiap lorong untuk menghidar dari kejaran makhluk hitam ini. Ia terus mengikutiku, melayang bagai hantu, sial melawannyapun tak mungkin.
Aku menoleh kebelakang, ia tak lagi nampak, apakah ia telah pergi? Sial! tiba-tiba ia muncul di hadapanku. Ia mendekat, aku mencoba untuk lari lagi dari kejarannya, dan kembali kesialan menimpaku, jalan buntu.
"Jangan mendekat, awas kau," aku berusaha menodongkan pisau yang aku pegang, berharap ia tertahan dan tidak berani mendekat
Ia semakin dekat, ia tidak menghiraukanku. Aku terpaku, rasa takutku menguasai diriku.
"Aaaaaaah, tolooong..."
Kriiing... Kriiing... Kriiingg...
*
Aku terbangun, Sial! untung cuma mimpi, wajahnya sangat dekat denganku, tatapannya sangat nampak, kalau ia ingin membunuhku. jam weker nenek terus berbunyi, penanda berakhirnya mimpi buruk ini. Aku mengambil dan memeluk jam itu. Perasaanku masih tidak karuan, sekarang pukul 07.00, aku tidak boleh terlambat upacara kali ini.Ayah sudah kembali ke kantor, Vespi terlihat sangat menawan pagi ini, sebuah pujian kulontarkan berharap tidak ada kesialan pagi ini. Tapi, perasaanku tidak enak, panik, seolah kesialan kembali mempermainkanku.
Trenden den den den puh...
Trenden den den den puh...
Trenden den den den puh...Vespi tak kunjung menyala, waktu sudah menunjukkan pukul 07.20.
"Siaaall, ada apa lagi wahai Vespi, jangan biarkan aku dihukum lagi." Kesal menyelimutiku sembari menendang ban Vespi, motor tua peninggalan Kakek.
Sepertinya tidak ada jalan lain selain lari kesekolah, setidaknya aku terlambat cuma 10 menit dan masih sempat untuk ikut upacara, kata ceramah-ceramah yang aku tonton, untuk memulai sesuatu harus dengan "Bismillah."
"Bismillahirrahmanirrahiim, yoook gass lari secepat mungkin Rangga." Aku berlari sangat cepat. Aku senang berlari untuk leatih otot-otot kakiku. Kaki yang kuat sangat dibutuhkan saat bertarung agar lawan tidak mudah untuk merobohkan kita.
Di depan adalah jalan raya, sekitar 15 menit lagi aku akan sampai kesekolah.
Piip... Piiiiiiip...
Suara klakson mobil mendadak henti di hadapan dan membuatku hampir tertabrak. Eeh tunggu dulu, ternyata mobil Ica, ia bersama ayahnya.
"Eeh Rangga, kamu tidak apa-apa?" tanya Ica yang segera turun dari mobil dan menghampiriku.
"Ouuh, tidak apa-apa, saya buru-buru takut terlambat," jawabku.
"Ouuh ayo ikut saja sama Ica, itu Abi juga manggil, ayok naik Rangga, supaya tidak terlambat," ajak Ica dengan antusiasnya.
"Ouuh makasih ya," jawabku sedikit malu tapi mau.
Benar-benar kekuatan "Bismillah." Kali ini keberuntungan berpihak padaku. Bukan hanya dapat tumpangan, tapi bisa bertemu dengan Ica dan abinya pagi ini, serasa ketemu calon mertua "hehehehe".
"Bagaimana kabar nak Rangga? lama kita tidak bertemu ya?" tanya abinya Ica.
"Ouuh, baik pak," jawabku.
"Alhamdulillah, kalau kita merasa baik katakan "alhamdulillah", karena banyak orang di dunia ini yang Allah tidak kasih kebaikan, ketentraman, atau ketenangan." Jawab abinya Ica.
"Ouuh Iya, Alhamdulillah, hehehe," aku salah tingkah. Aku juga melihat wajah Ica tersenyum dari balik kaca spion mobil, mendengar abinya menceramahiku.
Alahamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah, terus kupanjatkan dalam hati, karena bisa melihat Ica dengan cantiknya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Streets are Quiet (Novel)
Teen FictionBayangan itu muncul lagi, aku terperangkap dan merasa tubuhku sedang dikuasainya. Aku membunuh semua yang ada di hadapan, tak ada yang tersisa kecuali diriku dan aku, siapa aku sebenarnya...? Akhir sebuah derita adalah penderitaan, yaa itulah kata s...