[27] Right Choice - Na Kamden

26 2 9
                                    

°°°

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

°°°

Pagi itu terasa sangat berisik begitu suara burung bercicit saling bersahutan dengan suara alarm yang telah berbunyi sejak lima menit lalu, namun tidak ada pergerakan dari seseorang yang tidur di kamar itu.

Seorang lelaki masuk dengan handuk yang tersampir di bahu kanannya, lelaki itu berniat membangunkan wanita yang tertidur di atas ranjangnya. Maka, setelah mematikan alarm di ponsel wanita itu, Kamden menepuk bahu Eira dengan harapan wanita itu akan langsung terbangun.

“Eira, bangun. Sudah pagi, kau tidak akan pergi bekerja?”

Eira refleks terbangun dengan terkejut seperti baru tersadar dari mimpi buruknya, ia menoleh ke arah Kamden dan ekspresi terkejutnya semakin terjadi.

“SIAPA KAU?!”

Kamden mengelus dadanya. Ia pun masih belum menyangka atas apa yang terjadi, namun yang bisa ia lakukan adalah menarik napas dengan tenang dan menjawab, “Kita baru mengucap janji suci kemarin, menurutmu aku ini apa?”

Eira memegang kepalanya yang mendadak terasa pening. Lelaki di hadapannya terlalu nyata untuk dianggapnya bunga tidur semata.

“Kau kenapa?” Kamden bertanya dengan nada yang tidak terdengar peduli.

Eira menoleh, “Bau sabunmu membuatku sangat pusing. Besok gantilah,” wanita itu menjawab kemudian turun dari kasur dan keluar kamar, meninggalkan Kamden yang saat ini tengah menciumi bau badannya yang sudah dilapisi oleh kaus putih.

“Wangi kok, kenapa bisa membuat pusing?” Kamden bergumam heran, kemudian berjalan ke lemari baju untuk mengambil seragam kerjanya.

°°°

Eira yang sudah selesai mandi itu berjalan ke meja makan di mana ada Kamden yang tengah menyendok nasi ke dalam piring.

“Makanlah. Aku buat seadanya dengan nasi yang kita beli semalam,” ujar Kamden meletakkan sepiring nasi goreng yang tak nampak seperti nasi goreng pada umumnya di hadapan Eira.

Eira duduk di kursinya, menatap nasi goreng itu, kemudian mengambil sendok dan mencicipnya. “Tidak buruk,” di luar ekspektasi, meski tampilannya tidak meyakinkan, tapi rasa ternyata boleh diadu.

Kamden tersenyum tipis menatap Eira yang kini sudah dengan lahap menghabiskan makanan di piringnya, entah karena memang betulan enak atau hanya karena Eira lapar saja. Itu tak penting sih, karena mereka masih bisa makan pagi ini saja sudah cukup.

“Aku ke kantor sendiri saja,” ujar Eira yang sudah menghabiskan makannya terlebih dahulu lantas beranjak dari kursinya dan menuju kamar untuk bersiap pergi kerja.

Kamden yang belum selesai menghabiskan makannya menoleh, mengangguk pelan. Sebenarnya ia baru ingin menawarkan tumpangan di mobilnya untuk wanita itu, tapi urung karena Eira berkata demikian. Baiklah, di hari pertama ini tak apa jika Eira ingin sendiri, mungkin wanita itu masih mencoba menerima kenyataan, pikirnya.

Planet SeriesWhere stories live. Discover now