4~ Temenan?

438 46 5
                                    

Elior duduk mematung, tatapannya kosong. Setelah semua kegiatan berlalu, ia hanya ingin diam. Sudah pukul 23.00 namun tak nampak Bein. Kemana Pria itu, Elior membuka ponsel perlahan. Ada nama Bein di sana.

Kak Bein
___________

Gue ada urusan, lo bsa pulang sndiri kan, besok lo ga ada kegiatan pke aja waktu kosong buat istirahat

Elior bernafas lega, akhirnya ia bisa tidur seharian. Walapun sudah larut, orang-orang masih sibuk disana. Semua tengah diburu waktu, Elior sampai pusing sendiri melihat semua tim yang begitu bekerja keras.

"Belum pulang lo?" ucap Gavyn membuyarkan lamunan Elior.

Sorot mata itu kini tertuju pada Gavyn, "Ini baru mau," balas Elior

"Ngongkrong dulu bentar yok. Ngopi-ngopi," ajak Gavyn

Elior. Dalam hatinya ingin menolak, tapi ia selalu tak ingin membuat orang lain kecewa karena penolakannya. Alasan apa yang tepat untuk menolaknya, ia ingin istirahat.

"Ayok ah. Bentaran, gue gak ada temen ngopi nih, lo buru-buru yah?"

Elior menggeleng, "Nggak."

Gavyn menangkap itu sebagai persetujuan. Tanpa kata, keduanya berlalu, Elior dalam hati merutuk. Sialan lo ganggu rencana istirahat gue gavyn. Biarlah hanya ia yang mendengarnya. Entah kemana Gavyn membawanya, ia hanya membuntut tanpa kata.

Sorot lampu jalanan mulai sedikit redup, aktivitas jalanan juga mulai lengang. Semua orang mungkin sudah istirahat, lagi Elior berpikir jam segini adakah Cafe yang masih buka atau semacamnya.

"Mau ngopi dimana, jam segini emang masih pada buka?" Elior membuka suara

"Gak jauh, deket gedung ini doang sampingnya. Buka sampe subuh tenang aja," balas Gavyn

"Lo baru ya? Gue gak pernah denger tuh nama lo." Gavyn beralih topik pembicaraan

Elior menangguk, sedikit diselimuti rasa takut. Kata Bein jangan katakan apapun tentang latar belakangnya, cukuplah orang mengenalnya sebagai Elior. Jangan membuat orang lain penasaran, apalagi sampai bertanya tentang asal usulnya, "Om gue kebetulan orang dalem, gue dibawa aja," bohong Elior dengan cengiran gugupnya.

Gavyn merespon dengan tawa santainya, "Gue juga pake orang dalem. Tapi gue gak mau tuh jadi model. Kalo gak dipaksa ngapain jir, ini bukan dunia gue," balas Gavyn. Ah ia sedikit menyesal telah membuka sedikit keluh kesahnya.

Elior sedikit tertegun, "Kalo gak suka ngapain. Kalo di paksa nyiksa doang gak sih. Kita juga butuh kebebasan kan?"

Gavyn tertawa lagi, "Lo bener. Tapi kendali hidup. Bukan gue yang bawa, jadi hal apa yang bisa dilakukan selain nurut."

Tiba-tiba Elior bercermin pada dirinya sendiri. Padahal iapun begitu, apa bedanya Eliorpun sama saja, ia juga hidup disetir. Sesuatu yang ia tak inginkan namun terpaksa ia lakukan semua beralasan iapun tak kuasa menolak karena ada orang yang masih membutuhkan uluran tangannya. Ialah harapan.

"Masih ada pilihan lain. Lo bisa aja memilih," balas Elior seadaanya.

"Gue gak bisa milih. Karena pilihan gue cuma satu. Yaitu bertahan."

Elior kebingungan lagi, "Lo kayanya lagi ada masalah. Pantesan ngajak gue ngopi. Ya udah buruan. Daripada kepala lo makin berat."

Gavyn terkekeh tanpa membalas. Keduanya berlalu tanpa suara lagi. Sebuah tempat yang tenang untuk membuat jiwa-jiwa yang lelah untuk beristirahat, suasana hening dengan lampu temaram. Elior ia baru tahu ada cafe setenang ini, ia biasanya selalu datang ketempat yang sibuk dan berisik.

Two Sides [Hyuckren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang