three: smile on her face

1.3K 166 21
                                    

BECKY

Thailand memasuki musim hujan. Irin mengatakan itu padaku.

Aku merapatkan rompi seragam sekolahku. Tanganku mengulur melewati atap. Rintik hujan jatuh satu per satu. Aku menggigil ketika angin kencang berembus. Kemeja tipis ini jelas tak bisa banyak menolong. Rasa percaya diriku luruh bersama cuaca yang berubah sedrastis membalikkan telapak tangan.

Irin pergi bersama seseorang. Dia tidak memberi tahu siapa. Aku menebaknya Phi Noey, tetapi dia bilang bukan. Di satu sisi aku telanjur menolak tawaran Richie. Sialnya, saat aku menghubungi kakakku satu-satunya itu, Richie sedang ada meeting. Dia memintaku menunggu. Paling lama satu jam, begitu katanya.

Aku kembali duduk di bangku halte. Tempat ini ramai, tadinya. Kini, hanya tersisa aku sendiri. Aku menggigit bibir. Mulai ketakutan. Kepalaku memperhitungkan jarak yang kutempuh untuk kembali ke sekolah. Tidak masuk akal. Gerbangnya saja tidak terlihat dalam keadaan hujan yang menderas.

Aku menunduk, memainkan ponselku. Aku tidak mau merepotkan Richie dan mengacaukannya. Kuputuskan untuk mengembalikan benda itu ke saku. Richie mungkin tidak perlu tahu.

"Hai."

Oh, shit. Pelan-pelan, aku mendongak. Seorang pemuda berdiri di hadapanku. Sebenarnya dia cukup tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung, dan bibirnya—mungkin sedikit terlalu merah. Dia mengenakan seragam yang sama sepertiku. Aku mengira-ngira.

"Rebecca?"

Crepy. Dia mengenaliku di saat aku masih sibuk menebak-nebak dia siswa mattayom berapa. Aku tidak menjawab. Richie mengajariku untuk tidak merespons orang asing. Aku mulai mengingat-ingat beberapa teknik dasar bela diri. Kalau memang perlu, aku akan melakukannya, mengingat aku tidak bisa berteriak di tengah hujan seperti sekarang ini.

"Hujannya semakin deras, Becca. Ikut pulang denganku saja."

Dia punya selera yang bagus. Mobil sport-nya keren. Namun, aku bukan perempuan seperti itu. Aku tersenyum, menolak sehalus mungkin tawarannya. "Tidak, terima kasih. Aku sedang menunggu seseorang." Akhirnya kukatakan demikian karena dia terus saja memaksa.

"Dia tidak akan datang. Denganku, ayo. Aku janji tidak akan macam-macam."

"Tidak." Aku mundur satu langkah. Kakiku membentur bangku halte. Saat ini aku benar-benar ketakutan. Tuhan, tolong, kirimkan siapa saja untuk menolongku. Aku berjanji akan menjadi gadis manis. Aku tidak akan melawan Dad dan Mom, juga Richie, lagi. Aku akan menuruti semua perkataan mereka.

Tolong aku, Tuhan.

"Becca?"

Suara itu ragu-ragu. Namun, aku tak ragu sedikit pun.

Aku mengenalinya—sekalipun mataku tertutup. Aku tahu siapa pemiliknya. Perempuan berambut panjang yang berdiri bersama payung hitam membentang di atas kepalanya. PiFin mendekat, berdiri di sebelahku. Dia menatapku dan pemuda di hadapan kami. Bolak-balik dia memastikan. Aku bersyukur PiFin langsung menangkap sorotku yang berteriak.

"Sawadee kha[10], Phi Non," PiFin menyapa pemuda menyeramkan itu. Sama sekali tak ada ketakutan di sana. PiFin terlalu tenang. Dia lalu berbalik padaku. "Maaf, ada yang harus saya kerjakan dulu tadi."

Aku tidak mengerti apa yang PiFin maksud, tapi aku mengangguk padanya.

"Mari kita pulang. Ayo." PiFin menggenggam tanganku. Jemarinya berada di antara jari-jariku. Sebelum ini aku tak pernah melihatnya tersenyum. PiFin membenciku, itu yang kutahu. "Ayo, Becca. Sebelum kita berdua mati kedinginan."




Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang