ten: the night market

1.4K 172 46
                                    

BECKY

Jangan khawatir, saya akan menjagamu.

Kalimat itu terngiang di kepalaku dalam waktu yang tidak sebentar. Semestinya PiFin tidak mengatakannya. Aku kesulitan fokus sampai bel pulang berbunyi. Namun, jauh di lubuk hati terdalam aku senang PiFin melakukannya. Dia yang pertama—di luar Dad, Mom, dan Richie. Bisa saja dia membual, tetapi bahkan sebelum berjanji PiFin selalu menolong dan menjagaku.

"Kamu tidak bersama Richie?"

Aku menyurukkan buku-bukuku dengan tergesa. Tidak apa-apa berantakan, aku bisa mengurusnya nanti. "Tidak," kataku pada pertanyaan Irin. "Aku buru-buru, Rin. Sorry. Talk to you later. I'll text you. Bye, Rin."

Ketukan kets putihku menggema di sepanjang koridor. Aku tidak menuju gerbang sekolah melainkan ruang kelasnya. Ini kedua kali di hari yang sama. Sepatutnya aku tidak memunculkan batang hidung kembali usai respons yang kuterima. Tidak ada cara lain, aku bisa kehilangan dia kalau tidak bertindak nekat.

Hhh. Napasku satu-dua. Syukurlah belum terlambat.

Aku celingukan, memanjangkan leher, berusaha mencari keberadaannya melalui jendela-jendela besar. Dia masih di sana, di kursinya. Tiba-tiba saja perempuan bermata indah itu memalingkan wajah ke arahku. Aku melambai dan sama sekali tidak memedulikan sorot kekagetan yang membias di matanya.

"Bec, ada apa?"

PiFin berdiri di hadapanku, akhirnya. Aku menunggu sedikit lebih lama. PiFin membiarkan kawan-kawan kelasnya keluar lebih dulu. Sepanjang itu sebisa mungkin aku mengabaikan tatapan penuh tanya dari mereka. Pasti yang ada di kepala mereka mengapa siswi mattayom 4 satu ini lagi-lagi berada di koridor mattayom 5.

"Bolehkah kita pulang bersama, Phi?" pertanyaanku meluncur riang.

PiFin mencureng. "Saya harus ke tempat les, Bec." Diam. Berpikir. "Ke mana Richie?"

"Dia ..., umh, ada meeting. Aku tidak mungkin menunggu terlalu lama."

Bohong? Iya, aku tahu. Berbohong sedikit tidak apa-apa, kan? Kenyataannya aku yang meminta Richie untuk tidak menjemputku, dengan alasan PiFin bersedia mengantarku pulang. Tepat sekali, gambling. Namun, aku yakin kartu keberuntungan berada di pihakku. Sayangnya, jawaban PiFin yang terlampau lama membuatku khawatir.

Please, don't. Please say yes. Please, PiFin.

"Bec ...." PiFin memulainya dengan ragu. Apakah aku terlalu percaya diri? Shit, tamat sudah riwayatku. "Begini, kita pergi sekarang. Khun Anom akan mengantar saya ke tempat les, kemudian mengantarmu pulang. Bagaimana?"

"Aku ikut PiFin!"

"Huh?"

"Pukul berapa PiFin selesai?"

"Eungh ..., lima."

"Oke." Aku tersenyum-senyum. "Aku akan menunggu di mana pun. Aku bisa bersama Khun Anom atau di mana saja di sekitaran tempat les. Aku janji, PiFin, aku tidak akan membuat masalah."

PiFin menggaruk tengkuk. Dia tidak sepenuhnya setuju, aku bisa melihatnya, mungkin lebih banyak keberatannya. PiFin memandangi arlojinya dan menyadari pukul berapa sekarang. PiFin tak punya pilihan. Berunding denganku sama saja membuang waktu percuma.

"Ayo," katanya sembari menggamit lenganku.



Apa yang aku inginkan? Apakah aku sudah melakukan sesuatu yang benar?

Aku tidak tahu. Jangan mendesakku, aku sungguh-sungguh, tidak ada jawaban lain. Yang kutahu aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama PiFin. Mungkin karena aku merindukannya. Bisa juga karena janjinya. Kalimat itu secara praktis menyatakan di antara PiFin dan aku satu langkah lebih dekat dibanding sebelumnya.

Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang