twenty three: what's wrong with us?

1.1K 163 105
                                    

BECKY

Aku tidak mengerti apa yang terjadi pada kami. Tiba-tiba saja kami berhenti saling bicara.

PiFin menghindariku dan aku menyadarinya. Senin setelah Festival Tahun Baru PiFin selalu terlihat sibuk. Awal mula pembelajaran di term dua, kelas-kelasnya bersama Khun Beam, dan serangkaian kegiatan OSIS-nya. Kalau tidak agenda yang padat dia pasti selalu berakhir dengan kecapaian.

Dua pekan belakangan aku memahami adanya keengganan bertemu denganku. PiFin kerap memilih arah yang bersilang. Jika aku tiba di kafetaria maka dia akan buru-buru menyelesaikan makan siangnya. Saat aku menyusulnya ke perpustakaan, dia pasti gegas merapikan barang-barangnya dan pergi keluar, beralasan entah siapa pun itu mencarinya dan dia harus segera menemui.

Pesan-pesanku masih dibalas, tetapi lebih seperti terpaksa. Kalaupun aku tidak menghubungi, PiFin tidak akan memulai. Satu waktu aku menanyakan apa yang salah dengan kami. Jawabannya? Tertawa dan hanya itu. Tidak ada penjelasan yang menyertai. Sampai kemudian aku muak dan lelah. Mengapa hanya aku sendirian yang mengusahakan? Bila dia tak menginginkan, baiklah, aku akan menuruti.

Aku melakukan seperti yang dia lakukan. Itu, kan, yang PiFin mau?

Tidak ada lagi senyuman setiap kali kami berpapasan. Tidak ada lagi pesan apalagi telepon. Tidak ada lagi aku yang menghampirinya di kafetaria dan mengejarnya ke perpustakaan—di sofa kuning favorit kami. Aku belajar mengatasi banyak hal sendiri, tidak lagi melibatkan dan memerlukan pertolongannya. Meskipun, di antara semua itu, masih ada satu yang menetap dan kekal.

Kerinduan.

Tiada satu hari pun yang kulewati tanpa memikirkannya.

PiFin yang tidak aktif di media sosial, dia bukan tipe yang senang mengumbar aktivitasnya, membuatku kesulitan menguntitnya. Bukan niatan buruk, aku cuma ingin tahu kabarnya. Jalan ninjaku adalah mencari PiFin di Instagram stories sahabat-sahabatnya. Lebih sering aku menemukan PiFin dalam akun Phi Nam dibanding akun Phi Heng dan Phi Noey. Begitu saja cukup, asalkan aku tahu dia baik-baik saja.

Yah, paling tidak PiFin bersama teman-temannya dan bukan siapa pun itu orang lain di luar sana. Aku tak bisa—dan tak mau—membayangkan betapa sakitnya mendapati PiFin menghindariku karena seseorang yang bukan aku mendatangkan kenyamanan lebih baik. Benar, kan? Tak ada yang lebih menyakitkan daripada mengetahui tidak dipilih karena adanya manusia lain yang baru singgah di kehidupannya.

Aku menghela napas berat dan memanggul ransel biruku dengan setengah hati.

Kelas telah bubar. Suasana hati Irin berbanding terbalik. Dia mengecup pipiku dan berlari menuju gerbang. Aku khawatir Irin menabrak dan menimbulkan kekacauan. Efek jatuh cinta sungguhlah dahsyat. Di tengah padatnya jadwal manggung LYKN, Nut yang menjemputnya merupakan suatu keajaiban. Wajar Irin menjadi girang bukan main.

Malam itu dalam perjalanan pulang Irin bercerita. Sejak pertemuan di tennis venue Nut memintanya untuk tidak memberi tahu padaku tentang siapa William dan Nut sebenarnya. Perlu dicatat dan digarisbawahi: atas permohonan William. Keadaan kian didukung dengan aku dan William yang belum saling mengikuti media sosial masing-masing.

Irin bilang, "Mungkin saja William tipikal lelaki rendah hati yang ingin memikatmu tanpa memamerkan kelebihannya." Irin tertawa keras. "Kamu tidak mungkin tidak menyadarinya, kan, Becky? William menyukaimu! That's so obvious."

Aku tidak menyadarinya? Mmm, benar, aku tahu.

Lantas apa yang membuatku tidak bergerak ke mana-mana?

Sederhana, aku tidak berada dalam perasaan seperti yang William punya. Dia tampan, terkenal, dan baik. Tapi, lalu apa? Semua berhenti di situ. Irin bilang dia berdebar-debar hanya dengan memikirkan bertemu dengan Nut, tetapi aku tidak di sana. Setiap kali kami pergi hangout—ada Irin dan Nut juga—yang kurasakan hanyalah aku senang berjumpa dan menghabiskan waktu bersama kenalan baru. Tidak lebih dari itu.

Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang