eight: hectic day and heavy fever

1.3K 186 36
                                    

BECKY

PiFin tidak ada.

Aku mencarinya ke mana-mana. Di setiap koridor tidak ada. Di kafetaria juga sama. PiFin tidak terlihat di antara teman-temannya. Saat jam istirahat aku mengirimkan pesan, tetapi sampai bel berbunyi dia tak kunjung membalas.

"Kamu ingin aku bertanya pada Phi Noey?" Irin menawarkan.

Aku ingin? Tidak. Sempat mengeluhkan pada Irin saja membuatku merasa bersalah apalagi membiarkan teman-teman PiFin mengetahuinya.

Kami semua memang cukup dekat sepulang berlibur di Chonburi—bahkan menurut berita yang dengan cepat beredar, tidak ada yang berani mengusik aku maupun Irin sejak dua junior ini bergabung dalam geng OSIS, tetapi tetap saja aku merasa belum seleluasa itu menanyakan PiFin pada salah satu dari sahabatnya.

Ketukan di pintu kelas membuatku mendongak dari buku-buku yang kususun rapi di atas meja. Aku akan menyimpannya di loker dan membawa sebagian ke rumah. Tugas rumah, yah, itu. Kami para siswa tak akan terlepas darinya. Hhh. Omong-omong, tamu kami adalah Phi Noey. Perempuan tomboi itu melangkah masuk dan berhenti di depan mejaku dan Irin.

"Kalian dijemput?"

"Ya," aku dan Irin menyahut bersamaan.

"Ada apa, Phi?" Irin bertanya setelahnya.

"Mmm," Phi Noey tampak ragu, "tidak, aku hanya ingin bertanya apa kalian ingin ikut bersama kami menjenguk Freen?"

"Ada apa dengan PiFin?" Bukannya menjawab Phi Noey malah sibuk melempar tatap pada Irin. "Phi ...." Aku menggoyang lengannya. Tak sabar.

"Ibunya memberi tahu Freen tidak masuk karena sakit. Dan, yah, aku dan yang lainnya ingin melihat langsung keadaannya."

"Umh, Richie sudah di perjalanan," Irin bilang. Sejak pagi dia meminta untuk pulang bersama. Sopir keluarganya sedang mengantar ibunya ke suatu tempat. "Iya, kan, Bec?"

"Aku bisa membatalkan dengan Richie. Boleh kami ikut kalian?"

"Oh?" Irin mengerling penuh tanya.

Aku mengabaikannya—sepenuhnya. Saat ini PiFin lebih penting.



Di sinilah aku sekarang. Di sebuah rumah bergaya modern dan trendi.

Kalau dilihat-lihat bangunan ini tidak seluas rumahku. Namun, bentuknya yang tak biasa membuatku penasaran menyambangi setiap sudut. Phi Nam mengajak kami masuk. Aku dan yang lainnya menyusuri tangga dan melewati ruang terbuka hijau di sisi kanan. Semuanya serba minimalis.

"Kamar Freen di lantai atas." Phi Nam menunjuk satu ruangan berjendela besar dengan gorden tertutup rapat. "Ayo, lewat sini."

Kami disambut asisten rumah tangga yang sudah pasti tak asing dengan teman-teman PiFin. Wanita yang kutaksir berusia kepala empat itu juga menjelaskan PiFin tidak keluar kamar sejak pagi. Khun Freen makan, tetapi tidak keluar kamar, begitu katanya. Aku jadi semakin khawatir. Seberapa parah sakitnya? Aku menggigit bibir. Cemas.

"Oh, dia masih tidur," ujar Phi Nam yang berdiri paling depan.

Kami sudah tiba di depan kamar PiFin. Tanpa menunggu reaksi siapa pun, Phi Nam merapatkan kembali pintu kamar. Perempuan itu melenggang ke ruang keluarga. Dia duduk di sofa dan asyik saja berkutat dengan camilan dalam stoples kaca. Aku melirik Phi Heng dan Phi Noey. Mereka sama. Hanya aku dan Irin yang tampak bingung sekaligus canggung.

"Astaga, kita melupakan tamu kita," pekik Phi Noey. "Sini, Nong Bec, Nong Irin, duduk."

"Umh, Phi, apa kita tidak melihat PiFin?" Bukankah itu tujuan utama kami datang?

Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang