nineteen: when i miss you

1K 123 67
                                    

BECKY

Kawan lama Irin, Nut, memilih Simoorgh Tennis Academy sebagai tennis venue pagi ini.

Langit cerah memberiku firasat baik. Irin turun dari mobil dan aku menyusul. Dia berpesan pada sopir ibunya agar tak perlu menunggu. Dari luar tempat ini tampak menjanjikan, berada di kawasan perumahan. Terdapat empat lapangan, dua di antaranya masih kosong. Sebelum sempat menebak yang manakah Nut, Irin lebih dulu menggamit lenganku.

"Aku benar-benar gugup, Bec."

Meskipun belum pernah berada di posisi Irin sedikitnya aku bisa membayangkan. "Santai, Rin. Anggap saja ini hanya Nut." Aku mengedikkan bahu dan tertawa lagi.

Irin memutar mata. Saranku sama sekali tidak membantu.

Pintu terbuka dan kami disambut ruang tunggu yang terbilang nyaman. Beberapa bangku kayu di meja bar, juga seperangkat meja serta kursi-kursi yang menghadap langsung ke stadion terbuka. Aku menunggu selagi Irin memindai. Tidak lama seorang pemuda menyongsong ke arah kami. Senyumnya terlihat ramah.

"Irin?"

Si bodoh di sampingku tidak bereaksi. Aku menyikut pinggangnya.

"O-oh." Irin gelagapan. "Hai, Nut," katanya lagi. Bibir Irin melekuk terlalu tinggi. Astaga. Syukurnya Nut tak terlalu peduli. "Apakah kami terlambat?"

"Tidak. Aku hanya datang terlalu awal." Nut tersenyum lagi.

Aku menginspeksi dengan cepat. Kesan pertama, oke. Secara penampilan juga lumayan. Nut mengenakan kaus dry fit berwarna biru laut dan celana pendek hitam. Sepatu putihnya tampak baru dan mahal. Diam-diam aku tertawa, mulai memahami tipe lelaki idaman seorang Irin Urassaya.

"Oh, hampir saja lupa. Nut, kenalkan, ini Becky. Kami satu sekolah."

Nut menyalamiku. "Farang[35], eh?"

Aku terkekeh. PiFin pernah mengajarkan arti kata itu. Shit, mengapa kembali ke dia? Becky, sadarlah, PiFin tidak peduli padamu. Gadis bermata indah itu bahkan tidak berinisiatif menghubungimu. Sudah pukul sembilan, tak mungkin PiFin belum bangun. Aku sengaja tidak mengabari dengan harapan dia menyapaku lebih dulu.

"Aku juga bersama temanku. Dia sedang pergi ke kamar kecil," Nut memberi tahu. "Gadis-gadis, silakan duduk. Kita mulai sepuluh menit lagi, oke?"

Irin dan aku mengangguk bersamaan. Pemuda itu kemudian pergi ke sudut lainnya. Nut bilang dia ingin menyapa temannya. Dari bagaimana Nut dikenal bisa disimpulkan dia kerap bermain di tennis venue ini. Sekilas pandang sepertinya Nut cocok dengan Irin. Temanku satu itu, yang telah mengidolakan Nut sejak lama, hanya butuh lebih percaya pada dirinya sendiri.

"Astaga, Bec, aku sungguh-sungguh berkeringat."

Tidak hanya basah tangan Irin juga gemetar. Aku tertawa. "Perasaanmu tampaknya tidak berjalan searah, Rin," komentarku. Irin menaikkan sebelah alisnya. "Nut juga menaruh perhatian padamu. Percayalah."

"Jangan membuatku membangun harapan, Becky."

Aku menyenggol lengannya. "Tidak, sungguh. Aku bisa melihatnya. Dekati saja dan kamu akan menemukan jawabannya."

"Ish, bagaimana jika tidak?"

Aku mengerucutkan bibir. Probabilitas itu tentu saja ada. "Pelan-pelan, Rin. Yang terpenting jangan sampai lepas." Kami berdua cekikikan, tanpa menyadari seseorang berdiri cukup dekat di sisi kananku. "Ups."

Pemuda mengenakan headband hitam, senada dengan kausnya, tidak terlihat canggung sedikit pun. Dia tertawa. Berat dan renyah. Tanpa memutus kontak mata kami, bersama senyum manis di wajah tampannya, dia mengulurkan tangan ke arahku. Aku menyambut sekalipun ragu.

Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang