BECKY
"Kalau saja aku tidak ke Pattaya sepagian ini, aku pasti menunggu sampai Freen datang menjemputmu."
Ini aneh. PiFin tiba-tiba mengajakku pergi bersama ke sekolah setelah berjam-jam mendiamkan ucapan terima kasihku. Aku nyaris tidak bisa tidur. Kalau bukan karena obat dari dokter dan fakta mengenai PiFin berdiri di depan pintu rumah keesokan hari aku mungkin masih terjaga sampai pagi. Pesan darinya menghangatkan hatiku. Dan, aku tidak punya alasan selain karena pengirimnya adalah dia.
"There's still another time," kataku menanggapi kalimat Richie. Dia sudah rapi dan tampan. Kami duduk di meja makan. Aku mengunyah roti gandumku. "Kamu akan pulang malam?"
"Kuusahakan petang sudah sampai di rumah."
Aku mengangguk. Aku tidak masalah sendirian, tetapi keberadaan Richie membuatku merasa lebih aman. "Mom dan Dad akan pulang hari ini. Seharusnya kamu tidak memberi tahu mereka mengenai insiden di sekolah." Aku tidak suka membuat kedua orangtuaku khawatir, tetapi suara Mom semalam lebih dari cukup menjadikanku bersalah karena tidak bisa menjaga diri.
Richie meringis. Dia membersihkan sudut-sudut bibirnya, bangkit, dan merapikan kemejanya sebelum mendekat ke arahku. Kakakku satu-satunya itu tersenyum lebar. Aku tahu sepantasnya aku curiga. Sayangnya, aku tidak lebih cepat dari gerak tangan Richie yang mengacak-acak puncak kepalaku.
"RICHIEEE!"
—
Tidak lama setelah Richie pergi, pintu depan diketuk.
Aku deg-degan. Tanganku berkeringat. Dan, aku tidak melebih-lebihkan. Sebelum menyentuh gagang pintu, aku berkali-kali melengkungkan sudut bibir. Berharap senyumanku semanis yang ada di kepalaku.
"Hai."
PiFin tampak terkejut. Mata indahnya mengerjap dan—lihat, dia tersenyum! Oh, betapa aku menyukai senyuman itu. Aku ingin dia tersenyum selalu. "Kamu, euh, sudah siap?"
Aku menahan diri untuk melompat kecil. "Ayo. Aku sudah siap, Phi."
"Baiklah." PiFin berbalik. Dia bukan hanya tidak membalas salamku, tetapi juga tidak menungguku.
Menyebalkan! Dia yang menawarkan pergi bersama, dia juga yang bersikap tak peduli. Kalau memang tidak ingin, jangan memaksa. Hhh. Namun, semua kekesalan itu meluruh dan berganti senyum semringah saat PiFin melebarkan pintu penumpang untukku. Dia berdiri di sana sekalipun tidak berkata apa-apa.
"Terima kasih, PiFin."
"Mmm."
Kami berkendara dalam sunyi. Aku diam-diam memperhatikannya, tetapi PiFin tampaknya lebih suka menontoni keadaan di luar sana dibanding aku. Kupikir kami akan mengisi pagi dengan obrolan tentang banyak hal. Sepertinya aku berharap terlalu tinggi. Aku lupa siapa dia. Perempuan yang lebih suka mengunci mulut dan tenggelam bersama AirPods di telinganya.
Becky, ingat, jangan berharap pada manusia.
—
FREEN
Senyumnya cantik dan menyilaukan.
Rebecca Armstrong memiliki sesuatu yang tidak dipunyai kebanyakan orang. Kuning. Becca adalah kuning dan kuning adalah Becca. Aku tak pernah bertemu seseorang seceria dan sebahagia dirinya. Jika sebelumnya Becca mencolok karena dia berbeda—secara fisik, tapi aku tidak melihat ke arah sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is Enough
FanfictionEverything we know between us is enough. [14/11] #54 bestfriend out of 20,1k stories [08/11] #52 highschool out of 34,6k stories [24/08] #14 freensarocha out of 242 stories [23/11] #6 romancestory out of 2,6k stories [16/11] #76 relationship out of...