FREEN
Hal menyenangkan sering kali membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit.
Dalam penerbangan ekonomi terdapat tiga deret kursi pada setiap baris. Aisle, middle, dan window seat. Pilihan terakhir memberiku banyak kesempatan mengisi waktu luang. Menulis di bloknot puppies-ku, mengamati arak-arakan awan seputih kapas, juga memotret dan mengambil video singkat melalui kamera ponsel.
Dua tahun lalu kali pertama Mâae mengajariku. Mulai dari proses check in, memasukkan barang ke bagasi, dan memastikan menunggu di gerbang yang tepat. Ibuku bilang, jangan sungkan ataupun malu bertanya. Ketika aku 'dilepas' untuk pertama kali aku sungguh-sungguh gugup. Aku masih ingat betapa lebar senyumku mengetahui aku berhasil melaluinya.
Kemandirianku bukanlah tanpa alasan. Terpisah jarak ratusan kilometer mustahil Mâae tidak mengkhawatirkanku. Sekalipun tak dapat terus-menerus hadir secara fisik, tetapi ibuku selalu menjamin kebutuhanku terpenuhi, termasuk menjadi kuat di atas kaki sendiri. Dibesarkan oleh ibu tunggal membuatku terlatih dalam segala hal. Apa pun itu asalkan tidak merepotkan Mâae.
Aku menghela napas berat tanpa mengalihkan mata dari jendela.
Lagi-lagi tanpa permisi perasaan yang sama menyergapku. Phâaw. Apakah jika ayahku masih di sini semua akan berbeda? Mungkin Mâae tidak perlu bekerja dan berjauhan dariku. Mungkin tidak ada Freen yang ini. Aku bisa seenaknya bergantung perlindungan pada orangtuaku selayaknya anak kebanyakan. Tidak perlu memaksakan diri terlihat tegar seolah batu karang yang kokoh.
Bahkan, sekadar menangis—apalagi merengek—di hadapan Mâae saja aku tak kuasa.
Hhh ..., bertahan, Freen. Perjalananmu masih panjang. Suatu saat, entah kapan itu, aku akan memetik buah terbaik. Hari di mana dengan ringannya aku menertawakan keletihan yang telah kulalui. Sementara itu bersyukurlah, Freen, pada apa yang telah kamu miliki. Boleh jadi dalam bentuk berkat kehadiran seseorang yang memperjuangkanmu dengan berani.
Suara bersahaja melalui pelantang mengumumkan pesawat akan segera mendarat. Aku tersenyum pada sosok mungil yang sejak lepas landas memeluk lenganku erat-erat—seolah takut aku meninggalkannya. Mana mungkin. Wajah tenang terlelapnya meneduhkan hatiku. Setelah apa yang kami terima tempo hari, aku tidak menyangka akan bersamanya di hari ini.
"Bb, bangunlah. Kita hampir tiba," bujukku sembari mengusap kepala dan pundaknya.
Gadis Inggris itu menggeliat, mengerjap. "Nanti saja, PiFin. Aku masih mau seperti ini."
—
BECKY
Senyum lebar dan kerlingan mata indahnya meyakinkanku telah mengambil keputusan tepat.
Sehari setelah kedatangan PiFin, Richie menerobos masuk ke kamarku. Aku terlalu patah hati untuk sekadar mengomeli pemuda itu. Richie tahu ada yang salah. Tidak biasanya sang adik yang hobi bersungut-sungut dan merajuk ini mengunci mulut sangat rapat, bahkan ketika dia mengusik barang pribadi di meja kerjaku.
"Dad bilang Freen mengajakmu ke Chiang Mai." Richie memandangi pigura kayuku. Itu, kami. Aku dan PiFin. "Becky ...."
Aku mengesah. Tatapanku mengesankan untuk mengembalikan bingkai foto itu ke tempat semula. Richie menurut dan mengangkat tangan, menyerah. "PiFin tidak mengajak," kubilang. "Aku yang memintanya membawaku."
Richie bersandar di punggung kursi. Dia duduk menghadapku yang berbaring tak berdaya. Bibirnya mengerucut, keningnya mengerut, dan tangannya terlipat di depan dada. "Dad menceritakannya padaku. Aku minta maaf tidak bisa membantumu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is Enough
FanfictionEverything we know between us is enough. [14/11] #54 bestfriend out of 20,1k stories [08/11] #52 highschool out of 34,6k stories [24/08] #14 freensarocha out of 242 stories [23/11] #6 romancestory out of 2,6k stories [16/11] #76 relationship out of...