four: all the sweetest stuff

1.5K 197 68
                                    

FREEN

Rebecca Armstrong dan setelan olahraga.

Aku memperhatikannya. Becca tampak tepat. Kaus dan celana training berwarna merah anggur, rambut yang dikucir tinggi, dan buliran keringat di kening dan pelipisnya. Kelasnya sedang jam pelajaran olahraga. Semua murid dengan seragam serupa tampak berpencar di lapangan. Hanya Becca yang berdiri di tengah-tengah.

Aku melirik sekitarku. Tidak ada siapa-siapa selain aku dan teman-temanku. Tatapan Becca tajam dan tertuju pada satu titik. Mungkinkah itu aku? Belum sempat kudapatkan jawaban, bola basket yang melayang di belakang Becca membangkitkan instingku. Tidak, tidak.

Yang terjadi begitu cepat. Aku belum sempat berteriak, meminta Becca menjauh, dan bola oranye itu tahu-tahu mengarah padanya. BUG! Bunyi itu keras. Semua orang terdiam sebelum pekikan kaget pecah bersamaan. Aku melesat. Aku juga tak mengerti dari mana aku memiliki kecepatan semacam itu. Satu-satunya yang ada di kepalaku, aku tak mau Becca ambruk ke tanah. Dia sudah cukup menjadi korban.

"Bec?" Aku berhasil. Kepala Becca rebah di pahaku. "Becca ..., bangun."

Tiada reaksi. Becca tetap saja memejam sekalipun aku menggoyang-goyangkan tubuhnya dan menepuk pipinya berulang-ulang. Dalam hidupku, aku tidak pernah lebih cemas dari ini, sungguh.

"Nam! Heng!" aku berteriak. "Cepat. Bantu saya bawa Becca ke klinik."



"Nong Bec baik-baik saja."

Heng terdengar tak yakin. Aku menggigit bibir. Kami berdua menunggu hasil pemeriksaan dokter selagi Nam dan Noey mengurus sesuatu. Tidak lama mereka datang. Nam memintaku keluar. Berempat kami berdiri membentuk lingkaran di depan pintu klinik sekolah.

"Pelakunya teman sekelas Becca. Dia tidak sengaja, Freen."

Tidak mungkin. Aku bergerak gelisah. Mondar-mandir, berpikir. "Kita harus memberinya peringatan." Tentu saja yang kumaksud adalah OSIS. Kami bisa melakukannya. Sesuatu yang salah sudah sepantasnya mendapat hukuman.

"Tidak bisa, Freen. Dia tidak sengaja." Nam terdengar lelah.

Aku mengepalkan tangan. Ini tidak adil bagi Becca. Dia terbaring di dalam sana dan pelakunya dibebaskan tanpa syarat? Enak saja!

"Ada yang bisa menghubungi keluarga Rebecca?" Dokter muda mengenakan snelli menghampiri kami. "Freen," katanya, tegas. Dia mengenalku, sudah pasti. "Rebecca baik-baik saja. Tapi, kurasa dia lebih baik pulang dan beristirahat."

Aku mengangguk. "Saya akan mengabari keluarganya."

Kemudian, aku memberi instruksi dengan cepat.

Nam dan Heng kembali ke kelas. Aku meminta mereka menyampaikan izin terlambat masukku. Sesegera mungkin aku menyusul setelah orangtua Becca datang. Untuk Noey, kupinta dia ke kelas Becca dengan membawa surat izin sakit bertanda tangan dokter klinik. Sementara aku sendiri bertolak segegas mungkin ke ruang Tata Usaha dan Sistem Informasi.

Sekali lagi, aku melakukannya karena aku adalah ketua.

Becca ataupun bukan, ini sudah tugasku.



BECKY

Aku meringis. Kepalaku sakit.

PiFin adalah orang pertama yang kulihat. Aku tidak memanggilnya. Aku hanya tersenyum dan mengamatinya. Dia cantik dan berkarisma. Iya, itu. Atribut pemimpin yang melekat padanya memang sudah semestinya ada di sana. Aku tak bisa membayangkan jika orang itu bukanlah PiFin.

Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang