FREEN
Tangisan Becca mengiris hatiku.
Kilasan malam itu berputar kembali. Sepanjang satu bulan ini aku terus melihatnya. Kaset rusak. Aku membencinya, tetapi tak bisa menyingkirkannya. Tepatnya, aku tidak tahu caranya. Jalan pintas yang kupunya hanyalah menjauh dari sumber rasa sakitku. Becca. Gadis Inggris itu sendiri tak pernah berusaha meluruskan. Becca membiarkan aku berasumsi dan berdampak pada merenggangnya hubungan kami.
Aku menyesal mengiakan permintaan Becca. Semestinya tidak sekarang. Aku menggigit bibir, melirik kanan dan kiri. Becca menunduk, bahunya bergetar. Mati-matian aku menahan jemariku untuk tidak menyentuh dagunya, membawa wajah bersimbah air mata itu ke pandanganku. Aku lebih menyesal untuk yang satu ini. Aku tidak suka melihat Becca terluka.
Oke, berhenti, kuperintah siapa pun itu di kepalaku. Gambar hitam putih, Becca dan William, menatapku. Kalian tak lebih kuat! Saya yang memegang kendali. Aku menggapai tangan Becca dan membawanya masuk ke ruang Sekretariat OSIS. Aku pernah bilang, kan, kabar buruk lekas menyebar? Noey, Becca, mereka sama. Orang terdekatku yang sepatutnya kulindungi.
"Bb." Aku merengkuh pundak Becca tepat setelah pintu di belakang kami tertutup. "Sudah," mohonku. "Sudah, Bb. Jangan diteruskan." Aku akan melakukan segala cara untuk menghentikan isak pilu ini.
Becca memelukku tak kalah erat.
Rasa sakit itu menjelma dengan sempurna. Setiap tetes air mata yang jatuh dan tubuhnya yang gemetar membuatku jauh lebih hancur. Alih-alih berhenti aku malah melarau lebih keras. Kami tidak saling bicara, membiarkan keperihan menjadi satu-satunya yang bertindak. Aku dan Becca harus melepaskannya.
Remasan di dadaku terlalu kuat. Menyiksa. Aku tidak mengerti mana yang paling mendominasi. Kekecewaan karena aku mengira Becca bersama William, keegoisanku yang memisahkan kami berdua, kenyataan bahwa dugaanku keliru, Becca yang terluka akibat ulahku, ataukah semuanya.
Freen, kamu tak menyukai hal yang rumit, tetapi kamulah yang memperumit.
Bel tanda istirahat berakhir bergema. Aku mengusap air mata di pipiku. Kuambil cukup jarak untuk menjeda tubuh kami yang melekap, tanpa mengurai tanganku di bahu Becca. Gadis Inggris itu masih sama cantiknya sekalipun setiap sisi di wajahnya tak luput dari awan muram. Aku berjanji ini akan menjadi yang pertama dan terakhir Becca menangis. Tidak boleh ada kali lainnya apalagi aku sebagai penyebabnya.
"Bb," bisikku. Becca bergeming. "Maaf."
Aku menyapu sehati-hati mungkin pipi tirus perempuan cantik itu. Bibirku tersenyum, yang satu detik kemudian mengecup mata Becca dengan gerakan paling lembut. Satu per satu. Kanan dan kiri. Kelopak mata itu terbuka ketika aku kembali mengusapnya. Becca mengerjap. Aku merapikan rambutnya yang melengket oleh air mata. Tatapan kami tak beranjak ke mana-mana.
"Sudah bel. Saya antar ke kelas, ya."
Becca menggeleng dan kembali mendekapku. "Aku masih mau di sini."
Aroma Becca menenangkanku. Aku menghidu dalam-dalam resi segar dari rambutnya, kemudian melekatkan bibirku di sana. "Kita tidak mau mencari masalah dengan guru, kan?" gurauku.
Becca cemberut. Lengannya membelit pinggangku. Posesif. "Tapi, aku masih mau seperti ini bersama PiFin."
Aku juga, Bb. Aku juga. "Bagaimana jika setelah kelas selesai, hm?" Becca tidak bereaksi. Perempuan itu menyimpan wajah cantiknya dariku. Telunjukku membimbing Becca kembali menjadi pusat duniaku. "Saya dan kamu perlu bicara lebih banyak. Sekarang waktunya tidak tepat. Saya janji setelah bel pulang saya milik kamu seutuhnya. Oke, Bb?"
Becca mengerjap. Pipinya dihiasi rona samar merah jambu. Manisnya. "Janji?"
"Janji." Aku menautkan kelingking kami. Kulepas jam tanganku dan memasangkannya di tangan Becca. "Sebagai jaminan," jawabku untuk sebelah alisnya yang terangkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is Enough
Fiksi PenggemarEverything we know between us is enough. [14/11] #54 bestfriend out of 20,1k stories [08/11] #52 highschool out of 34,6k stories [24/08] #14 freensarocha out of 242 stories [23/11] #6 romancestory out of 2,6k stories [16/11] #76 relationship out of...