twenty eight: grant me the serenity

1.1K 163 70
                                    

BECKY

Irin Urassaya menjebakku.

Aku duduk di bawah pohon rindang, di tengah keramaian. Sepasang kets putihku mengayun selagi aku mengamati sekitar. Aku tidak peduli dengan yang Irin dan Nut lakukan, sungguh, tetapi intimasi mereka melantingku kembali ke Ayutthaya. Percakapanku dan Phi Noey di kuil Wat Chaiwatthanaram—semoga aku tidak keliru melafalkannya.

"Bagaimana kabar Irin?"

Aku mengerling. Pertama kalinya Phi Noey mengajakku bicara. Dulu Phi Noey kerap memunculkan wajah di kelasku. Kebiasaan yang menghilang sejak Irin resmi bersama Nut. "Irin baik, Phi."

Phi Noey tersenyum—tidak sampai ke mata. Tangannya bersembunyi di saku celana. "Umh, Nut memperlakukannya dengan baik?" Phi Noey mengatup bibir. Ada keengganan di matanya, yang seakan bicara semestinya dia tidak berkata demikian.

"Aku rasa begitu." Irin selalu gembira setiap kali berbagi tentang Nut. Aku tidak menemukan indikasi apa pun yang mengarah pada kekecewaan. "Phi Noey sendiri bagaimana?"

"Hm?"

Aku tersenyum kecil. "Ini tidak mudah, ya, Phi?"

Perempuan tomboi itu menggaruk tengkuk, meringis. Sepertinya Phi Noey tidak menduga akan terlibat dalam situasi ini denganku. Di antara teman-teman PiFin bisa dibilang Phi Noey yang paling tidak berusaha mengakrabiku.

"Nong Bec, umh ..., tidak masalah dengan hubungan seperti ini?"

Dating girls, that's what she meant? Bibirku memilin, berpikir. "Everyone can chase whoever they want." Aku mengedikkan bahu, Phi Noey menunggu. "No matter what gender, as long as they can make you happy, go after it bravely."

Phi Noey tertegun. Ada detik yang panjang menjeda. Aku melambaikan tangan dan barulah Phi Noey mengerjap. "Maaf." Dia terkekeh ringan. Tawa pertamanya hari ini. "Aku lupa sedang berbicara dengan farang." Keterbukaanku, itu yang Phi Noey maksud.

Aku ikut tergelak. Kebekuan di antara kami mencair. Aku tidak tahu sesakit apa luka di hatinya, tetapi aku amat senang melihat perubahan positif Phi Noey. "Irin tidak mengetahui perasaan Phi Noey untuknya. Tidak ingin bicara padanya, Phi? Mungkin ..., yah ...."

Perempuan tomboi itu menggeleng tegas. "Percuma saja, Nong Bec. Pengakuan ini terlalu terlambat. Hati dan jiwa Irin sudah dimiliki orang lain. Aku tidak mau mengusik yang telah terjadi."

Aku sepakat. Kesempatan itu mungkin patut diperjuangkan andai kata Nut tidak dapat membahagiakan Irin. Aku jadi memahami mengapa Phi Noey menanyakan hal itu di awal. Kutepuk pundak Phi Noey, melarungkan kekuatan. Barangkali tidak mudah, tetapi suatu saat Phi Noey pasti bangkit dari keterpurukan. Ini hanya soal waktu. Iya, kan?

"Bagaimana denganmu, Nong? William tidak berhasil menggaet hatimu, ya?"

Aku tersipu. Wajah PiFin mendadak berkelebat di kepalaku—dan di hatiku. "Bukan dia, Phi." Hanya PiFin. "Aku tidak suka memberi kesan yang salah," kataku lagi. "Syukurnya William tidak mendesak. Dia mengerti dan mundur perlahan."

Iya, hari itu. Nyatanya aku keliru. Sepenuhnya.

Percakapanku dan Phi Noey berhenti di siang itu, tepat ketika PiFin datang dan menyela kami. Namun, pernyataanku rupanya hanya menunggu saat sempurna untuk dipatahkan oleh pemuda yang kumaksud.

William, personel boyband terkenal, berhasil membuat segalanya berantakan.

Dan, sialnya itu terjadi hari ini, di hadapan ribuan pasang mata yang menghunjam tajam ke arahku.



"William ...." Aku menggertakkan gigi dengan bibir separuh mengatup. "Please, get up."

Everything is EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang