FREEN
Dua hari usai pembagian rapor, Becca mengundangku ke rumahnya.
Kami masih memiliki waktu satu pekan sebelum penerbangan, tetapi Becca bilang esok tulat[55] kedua orangtuanya akan bertolak ke Inggris. Urusan bisnis, dan, yah, membawa Becca pulang—berjumpa kakek dan neneknya. Sementara di sisi lain Becca dan aku telah memiliki rencana.
Aku memilin jemari. Kami terlalu menggampangkan. Bukan hanya belum mendapat izin dari Dad dan Mom untuk membawa putri kesayangan mereka, aku juga belum menghubungi Mâae. Ibuku tahu aku akan menghabiskan libur akhir tahun ajaran di Chiang Mai, tetapi tidak dengan seseorang yang pulang bersamaku.
Becca sangat percaya diri hasil memuaskan dalam ujiannya membuat dia mudah mendapatkan apa pun yang dia kehendaki. Termasuk mengudara bersamaku. Melintasi lebih dari 400 mil, sekitar tujuh puluh lima menit di atas awan. Tadinya, aku juga iya. Ketika mengetahui agenda ayah dan ibu Becca lebih beralasan nyaliku seketika menciut.
"Khun Freen baik-baik saja?"
"Ya?" Aku mengerling. Khun Anom membalas tatapku dari kaca spion tengah.
"Khun Freen ingin kita mampir membeli sesuatu?" dia bertanya lagi.
Minggu pagi kali ini kami berkendara dengan mulus. Tidak banyak penghuni jalan selain mereka yang berniat olahraga. Entah lari pagi maupun bersepeda. "Toko bunga, Khun Anom." Benar, lebih baik tidak datang dengan tangan kosong.
Khun Anom mengangguk dan aku kembali mengamati keadaan di jalan raya. Jika setelah pertemuan ini aku berhasil mengantongi lampu hijau dari Tuan dan Nyonya Armstrong sebaiknya aku segera memberi tahu Mâae. Jika sebaliknya, mungkin aku harus menyiapkan diri berpisah dan berjauhan selama delapan pekan dari gadis Inggrisku.
Hhh, membayangkannya saja aku tak sanggup.
—
BECKY
Pintu terbuka. Yang pertama kali aku lihat adalah sebuket bunga mawar.
Wajah cantik perempuan bermata indah itu hadir dari balik perpaduan mawar merah jambu dan putih—dibungkus kain tule berwarna putih. PiFin tersenyum. Bibir dan matanya melengkung sempurna. Manis seperti bulan sabit.
Aku tidak membuang waktu untuk menyerbu ke pelukannya. Hari ini adalah hari paling indah. Aku janji tidak akan melupakannya. Untuk pertama kalinya PiFin membawakan bunga untukku. And, yeah, I'm so speechless because roses are my favorite flower. Oh, she's cute.
"Suka?" PiFin mengusap puncak kepalaku.
Mmm ..., segarnya. "Sangat," aku menjawab bersama senyum di bibirku.
PiFin ikut melukiskan senyuman. Sudut-sudut bibir itu kian mengembang—bahkan memancarkan semburat hangat di wajah—ketika aku mengecup pipi kanannya. "Apakah ini artinya saya harus lebih sering membawa bunga setiap kali berkunjung ke rumahmu, Bb?"
Aku terkekeh. "Aku tidak akan menolak." Kami melangkah berdampingan. Aku menggamit lengannya. Saat itulah aku menyadari ada buket lain di tangan kiri PiFin. "Babe, perempuan lain mana yang juga beruntung mendapatkannya?"
PiFin mengikuti ujung mataku. Tulip putih. Dia tersenyum geli. "Mom," sahutnya.
"Ouch." Aku pura-pura menyentuh dadaku. "Kukira hanya aku gadis spesial itu."
PiFin tertawa. Lepas dan renyah. Perempuan bermata indah itu menyentuhkan ujung hidungnya ke sisi kepalaku. "Kalian berbeda," bisiknya. "Dan, yah, kamu tahu, kan, Bb? Itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is Enough
FanfictionEverything we know between us is enough. [14/11] #54 bestfriend out of 20,1k stories [08/11] #52 highschool out of 34,6k stories [24/08] #14 freensarocha out of 242 stories [23/11] #6 romancestory out of 2,6k stories [16/11] #76 relationship out of...