FREEN
Semua orang membicarakannya. Cantik, senyuman manis, kaukasoid.
Aku hanya menggeleng dan menutup telinga lebih rapat. Memuakkan. AirPods-ku menyala lebih kencang sementara kakiku melangkah lebih cepat. Sekretariat OSIS. Aku menyibak pintu dan tidak menemukan siapa pun. Selalu saja aku tiba lebih awal. Ketika aku meletakkan ranselku di kepala meja, pintu terbuka. Seseorang datang.
Heng tersenyum. Lebih seperti menyeringai. "Kamu sudah dengar?"
"Mmm."
"Namanya Rebecca. Putri konglomerat yang pindah ke sini."
Aku tidak menggubris. Aku mendengarnya puluhan kali—kalau ribuan kali terlalu berlebihan. "Dia tidak ikut masa orientasi," kubilang. Aku mengedikkan bahu. Bloknot bersampul puppies terbuka di hadapanku. Aku mulai menulis. "Saya tidak mengerti mengapa sekolah mengizinkannya."
Sebagai siswi mattayom 5[1] jalur prestasi aku semestinya tidak mencari masalah. Namun, sebagai Ketua OSIS aku bisa saja mengajukan keberatan. Jika bukan karena MPK[2] melarang, aku telah bersiap menghadap pembina. Mereka memiliki banyak kausa, dari yang kudengar. Pada intinya aku dan siapa pun di sekolah ini tak boleh memperdebatkan.
"Dia cantik, Freen. Seperti malaikat."
Heng tidak mendengar ucapanku. Dia menopang dagu di lengannya yang terlipat. Tatapan pemuda itu menerawang. Tsk, tampaknya Heng bagian dari mereka. Kelompok si pemuja anak baru. Murid mattayom 4 yang berhasil merebut perhatian seisi sekolah di hari pertamanya. Bintang utama yang mungkin akan menjadi buah bibir sampai satu pekan penuh.
"Hai, hai." Nam menerobos masuk. Terengah-engah. Dia melipat punggung dan tangannya menekan lutut. Seharusnya dia bernapas dengan baik. Namun, Nam tetaplah Nam. "Aku sudah bertemu dengannya. Dia cantik. Kulitnya halus. Persis seperti malaikat."
Malaikat. Selama berada di ruangan ini sudah dua kali aku mendengarnya. Entah mengapa aku memiliki firasat akan mendengar lebih banyak lagi. Masih ada tiga puluh menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
"Namanya Rebecca."
"Saya tahu." Heng sudah memberi tahu. Semua orang sudah.
"Orang-orang memanggilnya Becca," sambung Nam. "Tapi, Becky terdengar lebih imut."
Aku mengerutkan kening. Aku tidak peduli. Jika kukatakan pasti terdengar kasar. Aku memilih menunduk dan membiarkan Nam mencerocos bersama Heng. Topiknya sudah jelas tak jauh-jauh dari dia.
Rebecca Patricia Armstrong.
Tentu saja aku mengetahuinya. Semua orang membicarakannya.
—
Seseorang duduk di depanku. Laki-laki. Lebih muda. Murid mattayom 4. Aku tidak melepas AirPods-ku. Sekolah ini keren. Mereka mengizinkan kami menggunakan selama tidak di jam pelajaran. Aku bukan tipe yang menyia-nyiakan kesempatan baik. Apalagi jika menyangkut kenyamananku.
Pemuda itu, aku tidak ingat namanya, terus bicara. Musikku kencang. Aku tidak tahu apa yang dia ucapkan, hanya bibirnya yang bergerak-gerak. Dia tersenyum—lagi, lalu mengulurkan sebatang cokelat. Merek favoritku. Aku mengernyit. Tidak banyak yang tahu. Atau, mungkin sekarang ini sudah menjadi rahasia umum?
"Khob khun kha[3]," kataku.
"Aku permisi, Phi[4] Freen."
Sepeninggalan laki-laki itu aku memperbaiki letak penyumbat telingaku. Hari ini aku punya banyak hal yang harus dikerjakan. O-NET[5] membuat kami semua nyaris gila. Ibuku mungkin juga. Dia mengirim pesan dan mengingatkan untuk langsung ke area parkir sepulang jam sekolah. Katanya, sopir kami akan mengantarku ke tempat les. Hhh. Aku cuma ingin tidur.
![](https://img.wattpad.com/cover/355598254-288-k784650.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is Enough
FanfictieEverything we know between us is enough. [14/11] #54 bestfriend out of 20,1k stories [08/11] #52 highschool out of 34,6k stories [24/08] #14 freensarocha out of 242 stories [23/11] #6 romancestory out of 2,6k stories [16/11] #76 relationship out of...