10

1.9K 191 13
                                    

"Duh, gue nggak ikhlas ganti warna rambut."

"Sama cantiknya, kok." Hibur yang lebih tua.

"Lo nggak bakal ngerti perasaan gue, Mbak."

"Kerja kok bawa-bawa perasaan, profesional dong..."

"Muka lo gue cakar-cakar mau?"

Wenda sontak melepaskan tawa. Aneh kenapa dia nggak pernah ketakutan setiap Calandra melayangkan ancaman. Sebenarnya terlalu cepat menyimpulkan bahwa dia merasa cocok dengan Calandra tapi memang begitulah adanya, seminggu menjalin hubungan kerja dengan gebetan sepupunya itu nggak ada hari terlewati tanpa mereka saling melempar candaan ekstrim.

Sebuah keputusan yang tepat menjadikan Wenda sebagai manajer baru Calandra. Untuk kesekian kalinya, thanks to Windy.

"Aw! Lo punya dendam apa sama gue?!"

"Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja..." Calandra berdecak kesal, inginnya menampar karyawan nggak becus yang baru saja menarik rambutnya— yang katanya nggak sengaja —tapi dia ingat untuk selalu jaga image di tempat umum.

"Tolong lebih hati-hati ya, Mbak. Kami sudah tanda tangan kontrak sama brand shampoo, Mbak nggak mau kami tuntut ganti rugi kalau-kalau kontraknya batal cuma gara-gara Mbak nggak sengaja rusakin rambut artis saya, kan?"

"Maaf, Mbak, maaf... Saja janji akan lebih hati-hati."

Melihat karyawan itu membungkukkan badannya berkali-kali nggak ayal buat Calandra berteriak senang dalam hati. Ternyata asik juga punya manajer, pikirnya. "Udah, sih. Jangan minta maaf terus, lanjutin nih kerjaan lo." Serunya kembali.

Lantas karyawan itu segera melanjutkan pekerjaannya dengan lebih hati-hati. Nggak bisa dipungkiri bahwa aura Calandra mampu mengintimidasi orang-orang di sekitarnya. Karyawan malang itu salah satunya, padahal dia sudah berusaha semaksimal mungkin tapi Calandra yang menatapnya dari cermin secara magis membuyarkan konsentrasinya.

Rentetan Hair treatment kali ini sekurangnya memakan waktu 3 jam lamanya. Mengganti warna rambut dan mencoba berbagai macam perawatan terbaik pada surai tebal nan panjang Calandra jelas membutuhkan waktu dan tenaga ekstra. Bukan main-main usahanya kali ini, setidaknya 2 digit uang melayang hanya dalam kurun waktu 3 jam itu.

"Rambut gue kalo dipotong sebahu cocok nggak, ya?" Tanyanya sambil berkaca di spion tengah.

"Cocok-cocok aja, tapi ntar deh, kalo kontrak kita sama moonsilk udah abis." Sahut Wenda.

Calandra manggut-manggut setuju. Urusan keduanya sudah selesai, omong-omong. Dan mereka hendak bertolak ke rumah masing-masing sebab hari sudah petang. Calandra belum terlalu dibebaskan kelayapan dari pagi sampai malam. Ayam saja tahu kapan pulang, masa dia nggak? Begitu sindiran yang dilontarkan Papinya tempo hari.

Tapi ada satu hal yang akan selalu jadi pengecualian untuk Calandra kembali ke rumah sesuka hatinya. "Mbak, gue turun di kantor Rafael aja."

"Buset, ada apa nih?!" Respon Wenda kelewat kaget. Untung mesin mobilnya belum nyala, bisa saja dia secara impulsif menginjak pedal gas sampai mobil matic kesayangannya melaju di luar kendali lalu menabrak apapun yang ada di depan mereka.

"Black card gue ketinggalan di kantor Rafael, gue butuh banget itu kartu karna duit mulai menipis."

Terdengar sangat nggak tahu malu memang. Calandra harus sadar bahwa memungut kembali barang yang sebelumnya dia tolak mentah-mentah adalah tindakan yang paling nggak tahu malu, pun nggak tahu diri. Dia bisa dicap perempuan tebal muka atau lebih buruknya perempuan matre gara-gara hal itu. Namun sepertinya Calandra nggak ambil pusing dengan hal-hal negatif yang melabeli dirinya, toh, Rafael menggilainya sampai ke tulang-tulang, benar?

Under Calie's Heel (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang