11

1.8K 180 13
                                    

"Astaga." Rafael bergumam sambil memijit pelipisnya.

Pria itu nggak bisa lebih pusing lagi saat mendapati pertarungan yang berlangsung di depan mata kepalanya. Pertarungan konyol yang lebih seperti secuil adegan di serial-serial telenovela tahun 2000-an, di mana dua antagonis perempuan bertarung dengan segala kemampuan untuk memutuskan siapa yang lebih pantas mendapatkan sang lelaki incaran.

Rahang Rafael perlahan meluruh, gesturnya kelabakan memikirkan cara terbaik untuk melerai dua singa betina yang tengah beradu fisik di sana. Entah angin mana yang memicu terjadinya pertengkaran ini, yang pasti Rafael harus segera menghentikan semuanya sebelum kerusakan bertambah parah.

Asal tahu saja, kebrutalan Calandra dan Melisa mengakibatkan kerusakan di mana-mana. Bila ingin menerka-nerka siapa dominan dalam pertengkaran ini maka Calandra lah jawabannya. Wajah babak belur Melisa bukti konkretnya. Belum lagi lebam-lebam yang mungkin tersembunyi di balik pakaian sekretarisnya itu. Tapi bukan itu masalah krusialnya, Rafael harus segera menjauhkan Calandra dari Melisa sebelum gadis kesayangannya mengalami hal yang serupa.

"Berhenti!"

Sialnya seruan tegas Rafael sedikitpun nggak mempengaruhi keadaan. Baik Calandra maupun Melisa sama-sama kukuh saling menyerang— saling menjambak seperti anak kecil yang berebut mainan. Rafael sangat kesal melihatnya, grasah-grusuh dia mendekati kedua perempuan itu lalu tanpa aba-aba menggeplak tangan Melisa— berupaya menjauhkan tangan Melisa dari rambut Calandra. Bahkan Rafael nggak ragu mencengkeram kuat tangan Melisa agar perempuan itu berhenti menyakiti gadisnya.

"Sayang udah, ya? Sekarang lepasin tangannya." Lirihnya di telinga Calandra.

"NGGAK MAU!!"

"PAK LEPASIN TANGAN SAYA!!" Melisa ikut berteriak. Enak saja tangannya ditahan sementara Calandra bisa dengan bebas menyerangnya.

"Melisa! Kamu jangan macam-macam!"

"BAPAK JANGAN IKUT CAMPUR— AW!! JALANG GILA!!"

"LO BILANG APA?!! ANJING LO!!"

Calandra dengan bar-bar mengguncang kepala Melisa, kemudian menampar pipi Melisa sekuat tenaganya— nggak tahu tamparan ke berapa saking banyaknya. Agak keterlaluan memang, tapi begitulah resikonya bila berani mencari masalah dengan Calandra, sama sekali nggak ada ampun. Siapapun yang berani mengatainya jalang silahkan tanggung sendiri akibatnya.

Asal tahu saja, Calandra nggak takut bila peristiwa ini membawanya berurusan dengan polisi, mau dilaporkan dengan dakwaan penganiayaan pun terserah, dia sama sekali nggak peduli. Toh, dia punya Papi dan Rafael yang siap sedia melindungi. Melisa sepenuhnya salah mencari lawan.

"Calandra! Astaga... Elang, Yosua! Bantuin woi! Jangan diam aja!!"

Elang dan Yosua yang sedari tadi diam mematung sambil memeluk kusen pintu— kepalang kaget melihat aksi penyerangan yang nggak terduga —seketika disadarkan oleh seruan heboh Rafael. 2 pria itu kocar-kacir membantu Rafael melerai 2 singa betina di sana. Keduanya bersatu menjauhkan Melisa dari Calandra selagi Rafael mati-matian menahan Calandra agar nggak kembali menyerang.

"LEPASIN GUE RAFAEL ANJING!!" Amuk Calandra.

"Calandra sayang. Tenang! Tarik nafas, buang. Tarik lagi... buang lagi..."

Bak memiliki kekuatan magis, suara rendah Rafael secara perlahan memadamkan api kemarahan Calandra. Meski demikian gemuruh di dadanya enggan mereda. Calandra marah, sangat, tapi dia harus berhenti bila nggak ingin karier yang baru dimulainya hancur dalam sekejap mata. Nggak boleh! Pikirnya. Lagi-lagi hanya karier yang berhasil mengontrolnya.

Under Calie's Heel (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang