29

1.4K 108 6
                                    

"Bantuin saya dong, Mbak. Takut banget dipecat Pak bos. Cicilan saya masih banyak ini..." Anton nelangsa memikirkan karirnya yang terancam hancur. Meskipun dalam kasus ini dirinya nggak sepenuhnya salah, tapi nggak bisa dipungkiri bahwa sikap sembrononya cukup merugikan Rafael.

"Nggak usah khawatir, gampang itu." Balas Calandra sambil menepuk-nepuk bahu Anton. Lumayan keras sebab dia sebenarnya juga kesal pada pemuda itu.

Rafael nggak ada di sana, omong-omong. Kemunculan nggak terduga Anton membuatnya berlari tunggang langgang masuk ke kamar mandi, melanjutkan kenikmatan yang terpaksa berhenti di tengah jalan. Bahkan sang kekasih seketika luput dari perhatian. Tapi kalau dipikir-pikir lagi mana sempat dia memikirkan Calandra saat rasa malunya sudah nggak bisa ditanggulangi?

Anehnya sampai detik ini nggak ada tanda-tanda Rafael selesai bermain solo, pintu di sudut sana masih tertutup rapat, yang kemudian memunculkan tanda tanya besar di benak Calandra. Kira-kira sudah berapa liter air mani yang terbuang sia-sia?

"Beneran, ya? Mbak Calie doang ini harapan saya." Anton memohon sedemikian rupa. Kalau bisa dia akan sembunyi di bawah ketek Calandra saat Rafael muncul nanti.

"Lebay lu, babu."

Bosan menanggapi kepanikan Anton yang nggak kunjung mereda, Calandra lantas mengalihkan perhatiannya pada hal lain. Adalah tote bag berisi bekal makan siang yang dibuat khusus untuk Rafael. Gadis itu mengeluarkan isi tote bag tersebut, menatanya di atas meja agar Rafael bisa langsung makan bila sudah selesai dengan agendanya. Calandra masih ingat tujuan utamanya datang kemari, asal tahu saja.

"Wah, Mbak. Tau aja saya belum makan siang? Pak Mada tuh jahat banget sama saya tau, Mbak. Apa-apa selalu dilimpahi ke saya. Jadinya saya sering telat makan..." Adu Anton.

"Perasaan gue nggak nawarin lo, deh."

"Oh, makanannya bukan buat saya?"

"Ya bukanlah! Lo siapa sampe dapet perlakuan spesial dari gue?" Sinis Calandra. "Dan lagi, stop panggil gue Mbak. Gue nggak suka. Lagian gue lebih muda dari lo, anjir!" Sambungnya.

"Noted, saya panggil sayang aja ya kalo gitu?"

Ucapan Anton serta-merta menghentikan kesibukan Calandra. Dengus sebal lolos setelahnya. Sial, semua laki-laki sama saja, gerutunya dalam hati.

"Gue aduin Rafael tau rasa lo!"

"Yaelah... Bercanda doang, kali. Lagian mana berani saya nikung Pak Mada?"

"Bukan nggak berani, emang lo nya aja yang nggak mampu. Bisa apa lo gue tanya." Sarkas Calandra, seringai meremehkan terlihat jelas di wajahnya.

Faktanya nggak ada satupun pria yang effort-nya sebesar Rafael— dalam kasus memenangkan hati Calandra. Kalau cuma modal tebar pesona diselingi kata-kata manis, burung beo juga bisa. Calandra bukan cewek yupi yang dengan mudahnya meleyot sampai bertekuk lutut hanya karena gombalan yang keluar dari mulut para buaya, oke? Dia nggak selemah itu, buktinya Rafael hampir dibuat gila dalam masa perjuangannya meluluhkan hati gadis gemini itu.

Anton baru saja membuka mulutnya hendak membalas perkataan Calandra saat pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka. Napasnya seketika tercekat, susah payah meneguk ludah tatkala matanya bersirobok dengan milik sang atasan.

"Ngapain masih di sini?" Kening berkerut Rafael menunjukkan ketidaksukaannya terhadap keberadaan Anton.

"A-anu, Pak. Saya—"

"Keluar." Potong Rafael. Mutlak nggak mau di bantah.

Nggak ingin memperpanjang masalah, Anton pun berdiri, bersiap-siap menyingkir dari sepasang kekasih yang kini tengah beradu tatap. Anton hampir muntah saat menangkap basah Rafael flirting pada satu-satunya gadis di sana. Pria berambut pirang itu mengedipkan sebelah matanya, bahkan menjulurkan lidahnya dengan cara yang paling sensual. Astaga, apa atasannya memang se-pervert itu? Batin Anton bertanya-tanya.

Under Calie's Heel (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang