18

1.8K 162 19
                                    

Tagihan yang membengkak nampaknya cukup sepadan dengan senyum lebar Calandra serta sikapnya yang berubah drastis. Tahun-tahun berat yang dilalui Rafael rasanya terbayar lunas hanya karena kalimat pamungkas yang terlontar dari bibir ranum gadis kesayangannya itu. 'Sayang Kak El banyak-banyak', kata-kata itulah yang terucap setiap kali Rafael menggesek kartu hitamnya.

Rafael nggak bisa memastikan ungkapan tersebut mengandung ketulusan atau hanya kebohongan belaka. Kalau diingat-ingat lagi Calandra memang sangat mudah melontarkan omong kosong yang konsistensinya bersifat dinamis, kerap berubah-ubah sesuai kondisi. Pun demikian Rafael nggak pernah mempermasalahkannya. Toh, dia dengan senang hati meladeni sifat buruk gadis itu. Intinya, apapun akan Rafael lakukan selama Calandra bahagia bersamanya.

"Yang rose gold di display itu Adek nggak mau?"

"Bukan gaya Rara, Kakak sayang..." Sahut Calandra, diakhiri kecupan manis di pipi tirus Rafael. Konyol melihat wajah cengengesan Rafael dalam 2 jam terakhir. Pria itu nggak berhenti memamerkan giginya seolah-olah hanya dia yang punya gigi. Calandra terkikik geli, sungguh luar biasa budak cintanya yang satu ini.

"Jadinya yang merah ini, ya? Atau yang abu-abu? Atau kalo Adek suka dua-duanya ambil aja."

"Hmm... Gimana, ya? Adek suka warna merah, tapi light grey juga bagus, sayang banget designnya sama, nggak mungkin Adek beli dua-duanya. Adek tuh nggak suka koleksi barang mirip-mirip, Kak El."

Calandra dilema memilih satu di antara dua high heels yang sama-sama bernilai fantastis. Bisa saja dia mengikuti saran Rafael untuk mengambil keduanya, tapi— ayolah, mari kesampingkan berapa total uang yang digelontorkan Rafael, lihat keadaan pria itu sekarang, kedua tangannya penuh dengan paper bag belanjaan Calandra, pantaskah dia diperlakukan sedemikian rupa?

"Bentar." Rafael tiba-tiba berdiri lalu berjongkok di depan Calandra. Dengan telaten dia memakaikan dua jenis high heels di kaki gadis itu, merah di sebelah kanan dan abu-abu di sebelah kiri. "Cocok dua-duanya, sayang!" Ucapnya antusias.

"Jadi bagaimana, Pak?" Perempuan berpakaian serba hitam yang adalah karyawan outlet brand mewah tersebut melayangkan tanya setelah beberapa saat diam mengamati.

"Saya ambil dua-duanya, Mbak." Putus Rafael akhirnya.

Calandra hendak protes tapi urung sebab telapak kakinya digelitiki secara brutal. Tawa renyahnya terdengar mendominasi. "Curang!" Gerutunya. Posisi Calandra tengah duduk manis di atas sofa nggak berpenyangga yang biasa ditemukan di toko-toko sepatu.

"Biar cepat, sayang. Kita udah keliling-keliling dua jam lebih, lho. Emangnya kamu nggak laper?"

"Oh... Kak El udah laper, ya? Bilang dong dari tadi."

Bibir ranum Calandra bersungut-sungut lucu entah sebab apa. Sepertinya dia nggak ikhlas kegiatan shopping mereka terhenti sampai di sini. Tingkahnya yang kekanakan nggak ayal buat Rafael gemas, andai nggak ada orang lain di sekitar mereka maka melumat bibir satu sama lain adalah sesuatu yang paling mungkin terjadi.

"Makan di foodcourt sini saja, ya? Badan Kakak masih pegal-pegal karna lembur semalam." Ungkap Rafael.

"Tuh, kan! Rara bilang juga apa. Dikasih tau nggak usah lembur Kakak nggak mau dengar. Bandel banget."

"Iya, iya. Nanti malam tidur cepat, deh. Biar Adek nggak tantrum ditinggalin tidur sendirian."

Begitulah kenyataannya. Rafael nggak bodoh untuk memahami maksud di balik larangan Calandra. Gadis itu menentang Rafael lembur karena sebenarnya dia enggan tidur sendirian. Tidur sambil dipeluk oleh Rafael adalah hal lain yang dia sukai. Well, tanpa disadari keduanya mulai saling bergantung.

Under Calie's Heel (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang