4

285 34 2
                                    

Bab 4

Enrico menatap pada sosok wanita cantik dan anggun di hadapannya. Wanita yang dulunya adalah kekasih kini statusnya berubah menjadi kakak iparnya.

Iya, dia adalah Fiona, kekasih Enrico sebelum akhirnya dia dijodohkan dengan Louisa, sekitar 1 tahun lalu.

Hubungan keduanya terjalin sudah hampir 2 tahun tanpa mendapatkan restu dari kedua orang tua Enrico. Kedua orang tuanya justru menjodohkannya dengan Louisa, adik tiri dari Fiona sendiri.

Keduanya sering bertemu bahkan setelah Enrico berstatus sebagai suami dari Louisa.

"Jadi, kamu tidak tahu apa-apa tentang Louisa?" Enrico bertanya untuk yang kedua kalinya.

Malam ini mereka berada di restoran dan tengah menikmati makan malam. Enrico bertanya tentang Louisa pada Fiona.

"Aku juga tidak tahu apa-apa, En. Louisa dibawa sama nenek saat dia berusia 10 tahun dan menghilang sampai baru ketemu dengan dia baru-baru ini," jawab Fiona menatap Enrico. "Aku juga agak terkejut dengan penampilannya kemarin saat bertemu dengan dia di firma hukum. Sangat berubah dengan saat pertama kali bertemu dengannya di hari pernikahan kalian dan hari-hari biasanya."

Enrico mengerut keningnya dan menganggukkan kepala.

"Memangnya kenapa? Apa kamu sudah ada rasa dengan dia?" Fiona bertanya hati-hati seraya menatap lekat wajah Enrico. Debar jantungnya masih untuk pria ini dan beruntungnya setelah menikah, Enrico masih menghubunginya dan meskipun tidak berstatus sebagai kekasih lagi, pada kenyataannya mereka sering bertemu di luar.

"Tentu saja tidak. Aku hanya penasaran saja dengan perubahannya."

"Oh, ternyata di sini suami dan juga kakak tiriku berada. Menghabiskan waktu dengan makan malam berdua, sangat romantis dan pastinya kalian pasti bahagia," tegur sebuah suara, menyela perbincangan keduanya. "Tapi apa kalian tidak bisa menahan diri? Tunggu sampai kita resmi bercerai sebelum kamu bisa menjalin hubungan lagi dengan perempuan ini, Enrico?"

Spontan saja Enrico dan juga Fiona menatap ke sumber suara dan menemukan Louisa bersama 3 orang wanita cantik dengan penampilan modis mereka berdiri tak jauh dari meja tempat di mana Enrico dan Fiona berada.

"Louisa, kamu jangan salah paham dulu. Aku dan Enrico tidak memiliki hubungan apa-apa."

Pernyataan Fiona membuat Louisa terkekeh seraya menatap teman-temannya.

"Seberapa sering kalian melihat dua orang ini bersama?" Wanita itu bertanya pada teman-temannya.

Belinda mengangkat kepalanya menatap Fiona dan juga Enrico secara bergantian. "Aku sering bertemu dengan mereka saat sedang di cafe maupun di restoran. Pertemuan yang sangat intens."

"Aku juga sering memergoki mereka tertawa dan menghabiskan waktu bersama." Kali ini Diana berkata seraya menatap keduanya dengan jijik.

"Ah, mungkin hampir setiap hari?" Kali ini Denada menyahut dengan tanya di akhir kalimat.

Louisa tertawa mendengar jawaban-jawaban yang dilontarkan oleh  teman-temannya.

"Tidak menjalin hubungan apa-apa tapi sering bertemu di luar tanpa sepengetahuan istri. Itu tandanya berselingkuh diam-diam di belakang," ejek Louisa. "Memang kalau buah jatuh tidak jauh-jauh dari pohonnya. Ibunya penggoda suami orang, anaknya mengikuti jejak."

Tawa meledek telontar dari mulut keempat wanita berpenampilan seksi dan modis tersebut yang tentu saja menarik perhatian para pengunjung restoran yang lain.

"Laki-laki di dunia ini banyak, tapi suami orang jauh lebih menggoda. Pada dasarnya punya keturunan gatal bakalan ikut gatal juga. Aku yakin anaknya nanti bakalan gatal juga sama suami orang." Belinda berucap dengan suara agak lantang.

"Oh, iya, berarti 3 turunan. Dari ibunya yang pelakor, anaknya yang ikut jadi pelakor, eh, nanti cucunya juga ikut jadi pelakor," sahut Denada.

Kedua tangan Enrico mengepal di atas meja seraya menatap tajam pada Louisa dan juga teman-temannya.

Tiga orang wanita yang berada di sisi Louisa tentu saja Enrico mengenalnya. Mereka adalah anak pengusaha dan juga pejabat terkenal. Tidak tahu dari mana Louisa mengenal para wanita ini. Tapi, yang Enrico tahu jika ketiga wanita yang bersama Louisa jelas bukan teman yang baik untuk Louisa.

"Jaga bicara kalian. Kalian tidak tahu apa-apa dan jangan berkomentar apapun." Enrico menatap keempatnya dengan mata tajamnya terutama pada Louisa.

"Oh, baiklah, guys. Kita disuruh tutup mulut dan jangan berkomentar apa-apa. Cukup tahu saja keturunan pelakor akan tetap jadi pelakor seumur hidupnya. Perempuan murahan yang jauh lebih rendah dari keset."

Enrico berdiri dan siap untuk membalas debat dengan Louisa tapi wanita itu sudah berbalik pergi bersama ketiga temannya sambil tertawa.

Fiona yang sejak tadi dibicarakan dengan kata-kata paling menyakitkan menundukkan kepalanya. Rasanya ia tidak berani untuk mengangkat kepala melihat banyak orang yang kini sudah mengalihkan tatapan ke arahnya.

"Jangan hiraukan apa yang mereka bilang tadi. Kita yang jauh lebih tahu tentang kita daripada orang lain."

Fiona mengangkat kepalanya kemudian tersenyum kecil sambil mengangguk sedikit. Hatinya teriris ngilu mendengar kalimat-kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh para wanita tadi.

Benar-benar sangat menyakitkan.

Sementara Louisa sendiri setelah bersenang-senang dengan teman-temannya tentu saja wanita pulang pada pukul 2 dini hari.

Bau rokok dan juga alkohol melekat di tubuhnya. Meski begitu wanita itu tentu tidak mabuk. Satu botol minuman tidak langsung membuat Louisa yang memang tahan terhadap alkohol tidak akan membuatnya mabuk.

Wanita cantik itu melenggang dengan santai memasuki area rumah tentunya dengan hati-hati agar tidak menabrak barang-barang karena pencahayaan dimatikan dan hanya menyisakan lampu-lampu dari luar yang memasuki celah-celah jendela.

Ctek!

Ruangan yang semula temaram  kini terang benderang dengan kehadiran sosok Enrico yang berdiri di dekat tembok sambil melipat tangan di dada menatap tajam sosok Louisa.

"Kamu tahu ini sudah jam berapa?"

Louisa menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menganggukkan kepala pelan.

"Jam dua. Aku tidak buta jam." Wanita itu berdecak dan menyahut dengan santai. "Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku."

Mengangkat bahunya acuh, Louisa akan berbalik pergi. Namun, suara Enrico menghentikan langkahnya.

"Kamu perempuan dan bisa-bisanya kamu pulang sudah hampir subuh seperti ini. Mau jadi wanita tidak benar kamu?"

Louisa menoleh menatap tajam Enrico.

"Jangan ikut campur dalam urusanku. Mau aku pulang jam berapa pun itu bukan urusan kamu."

"Kamu istriku, Louisa!"

"Sebentar lagi kita akan bercerai," sahut Louisa. "Jadi, kamu tidak perlu repot-repot untuk mengomentari hidupku, selayaknya aku yang tidak pernah mengomentari hidupmu. Mengerti?"

Louisa melangkah pergi meninggalkan Enrico yang masih ingin berbicara pada wanita itu.

Enrico menggeram kesal menatap tajam punggung wanita yang sudah berlalu pergi dari hadapannya.

LouisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang