Bab 16Louisa mengerjap matanya kemudian membuka sedikit demi sedikit sampai akhirnya ia bisa melihat dengan jelas pemandangan yang ada di hadapannya.
Wanita itu segera menarik tubuhnya agak menjauh dari Enrico karena posisi mereka yang begitu dekat.
Selama tidur, Louisa tidak sadar kalau dirinya tidur terlalu dekat dengan Enrico. Wanita cantik itu kemudian terduduk di atas tempat tidur, menatap keluar dari celah-celah jendela yang masih terlihat agak gelap. Kemudian Louisa mengambil ponselnya dan menatap jam yang saat ini sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Namun, aktivitas di luar sudah sangat ramai.
Tak lama kemudian ia merasakan pergerakan di sebelahnya, namun Louisa pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Kamu sudah bangun? Ini masih jam lima pagi. Kalau mau lanjut tidur lagi juga tidak apa-apa," kata Enrico dengan suara serak. Sangat khas dengan ciri ia baru saja bangun dari tidur.
Louisa menoleh menatap pada Enrico kemudian menggelengkan kepalanya.
Sudah bangun seperti ini mana bisa tidur lagi. Segera wanita itu meletakkan ponselnya, kemudian segera turun dari tempat tidur.
"Kamu mau ke mana?"
"Keluarlah. Menurut Mas memangnya aku mau ke mana lagi?" Louisa menjawab sambil memutar bola matanya, kemudian langsung bergegas pergi tanpa menunggu respon dari Enrico.
Sementara pria itu sendiri terdiam di atas tempat tidur menatap punggung istrinya yang sudah bergerak menjauh.
Tak lama kemudian Enrico ikut keluar. Melewati ruang tengah di mana masih banyak saudara yang tidur karena begadang, Enrico menggelengkan kepalanya. Pemandangan seperti ini hanya bisa dilihat ketika ia pulang kampung saja. Pria itu kemudian bergegas menuju halaman belakang rumah setelah melewati dapur dan mengedarkan pandangan mencari keberadaan Louisa.
"Mbak Louisa lagi cuci wajah, Mas, di sana." Eren entah sejak kapan kini berdiri di sebelah Enrico sambil menunjuk ke sebuah arah di mana sosok Louisa tengah mencuci wajah dari toren air yang dinyalakan.
Menurut informasi yang didengar dari bibinya jika memang bibinya sengaja memesan beberapa tangki air untuk kebutuhan hajatan besar karena memang memerlukan banyak air. Sedangkan untuk mandi mereka harus pergi ke sungai.
"Oh, Mas tidak mencari mbakmu kok."
"Kalau mas Rico tidak mencari Mbak Louisa, ya udah. Aku cuma mau kasih tahu doang kok."
Eren mengangkat bahunya kemudian segera berbalik pergi masuk ke dalam rumah untuk membantu salah satu bibinya memotong kue yang akan dihidangkan pada tamu yang akan datang pagi ini.
Sementara Enrico sendiri bergerak menuju ke arah toren air berukuran besar tersebut di mana istrinya sedang mencuci wajahnya.
"Kalau mau buang air besar, di situ ada kamar mandi," tunjuk Enrico.
Louisa yang baru saja selesai mencuci wajahnya mengikuti arah telunjuk pria itu dan menemukan dua kamar mandi yang memang terpisah dari rumah. Sengaja dibuat dua karena kadang orang-orang di dalam rumah seringkali tidak sabar untuk menunggu giliran. Di depan kamar mandi tersebut terdapat sumur yang kini sudah mulai mengering.
"Aku tahu," kata Louisa.
"Baiklah. Aku pinjam handuk kamu, soalnya aku lupa bawa handuk untuk cuci muka." Enrico mengulurkan tangannya meminjam handuk untuk mengeringkan wajah pada Louisa.
"Yakin kamu mau pakai bekas aku?"
"Kenapa tidak? Apa kamu panuan?"
Louisa segera melempar handuk tersebut ke arah Enrico yang langsung disambut oleh pria itu. Sementara ia sendiri bergegas masuk dan membantu saudara Bude Halimah mencuci piring.
Pernah menyewa kontrakan dan hidup mandiri membuat Louisa tahu banyak pekerjaan rumah tangga. Tapi, tidak dengan memasak.
"Kalian berdua aja yang cuci piring? Eren ke mana? Kok dia tidak kelihatan?" Tiba-tiba saja Bude Halimah sudah berada di dekat tempat untuk mencuci piring sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.
"Tadi Eren aku lihat masuk ke dalam rumah, Mbak. Mungkin dia juga lagi sibuk di dalam," jawab sepupu Bude Halimah.
"Ya ampun. Mana perkakas kotornya banyak sekali lagi. Tidak cukup untuk kalian berdua saja yang mencucinya. Ah--" tiba-tiba saja Bude Halimah tersenyum menatap sosok yang berada tak jauh dari posisi mereka saat ini. "Rico, kamu bantuin dulu istri kamu sama bibi Imas buat cuci piring. Tidak apa-apa 'kan kalau kamu cuci piring? Takutnya tangan kamu yang sudah biasa kerja sama laptop, tidak tahu cara cuci piring," ujar Bude Halimah.
Wanita itu melebarkan senyumnya menatap pada keponakannya itu.
"Bisa, Bude. Nanti aku bantuin buat angkat piringnya," jawab Enrico sopan.
"Syukurlah kalau begitu. Bude bisa tenang sekarang. Soalnya Bude lagi mau nota barang-barang yang mau dibeli di pasar nanti." Bude Halimah kemudian berbalik pergi meninggalkan tiga orang yang bersiap untuk mencuci piring.
Bibi Imas menggosok perkakas kotor tersebut. Sementara Louisa bertugas untuk membilasnya dan memasukkan ke dalam sebuah keranjang besar untuk mengangkat perkakas tersebut.
Enrico duduk di dekat Louisa. Handuk yang dipinjamnya dari Louisa masih tergantung di lehernya, membuat Louisa hanya menatap sekilas pada pria itu.
Louisa memang tidak banyak bicara pada orang yang belum terlalu dikenal. Maka dari itu, ia akan menanggapi apa yang diucapkan oleh bibi Imas.
"Kalian menikah sudah berapa lama?" Bibi Imas adalah sepupu jauh dari Bude Halimah dan sejujurnya ia tidak terlalu mengenal keluarga Enrico. Maka dari itu ia hanya tahu jika Enrico sudah menikah berapa lama dengan Louisa.
"Sudah hampir satu tahun ini, Bi." Kali ini Enrico yang menjawab.
"Sudah lumayan lama juga kalau sudah 1 tahun. Sudah punya rencana buat punya momongan?" Bibi Imas bertanya dengan santai, membuat keduanya terdiam canggung ingin menjawab apa mengingat mereka bahkan belum melewatkan malam pertama seperti yang dilakukan pasangan suami istri.
Louisa melemparkan tatapannya pada Enrico yang mengangkat bahunya. Wanita itu akhirnya memutuskan untuk menjawab, "doakan saja, supaya bisa segera diberikan momongan."
Jelas ini adalah jawaban yang paling aman dilontarkan pada bibi Imas. Tidak mungkin Louisa akan dengan jujur berkata jika ia bahkan belum pernah disentuh oleh Enrico.
"Iya. Pelan-pelan saja kalau mau punya anak. Harus dipikirkan matang-matang. Bibi punya keponakan juga yang menikah katanya sih sama-sama sayang dan cinta sama suaminya itu. Mereka akhirnya punya anak dan yah, ada masalah ekonomi yang membuat mereka bercerai. Anak mereka justru ikut dengan adiknya bibi," celoteh bibi Imas. "Pokoknya jangan mau punya anak dulu sebelum kalian memikirkan semua hal. Orang tua bukan hanya sekadar untuk melahirkan anak saja tapi juga harus memikirkan banyak hal. Soalnya di sini banyak banget anak-anak yang ditelantarkan sama orang tua mereka." Suara bibi Imas memelan takut didengar oleh yang lain jika ia sedang menceritakan banyak tetangganya yang menelantarkan anak mereka.
Sedangkan Louisa dan juga Enrico hanya menjadi pendengar bibi Imas dan sesekali menanggapinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Louisa
SonstigesLouisa, wanita 24 tahun yang selalu menahan diri dari segala macam hal. Termasuk, menahan diri dari siksaan pernikahan yang membelenggu dirinya. Louisa, perempuan penurut itu kini berubah menjadi perempuan barbar yang sangat berbeda dari dirinya seb...