Louisa duduk bersama sanak saudara dari pihak Bude Halimah.
Wanita cantik itu sedang makan menggunakan tangannya secara langsung mengikuti gaya makan orang-orang yang ada di sini. Meskipun terlihat sangat kaku, Louisa berhasil mengimbanginya.
Wanita itu hanya mengambil sayur nangka santan atau apalah itu ia juga tidak tahu cara menyebutkannya. Kemudian, makan menggunakan tangan dengan kuah ternyata jauh lebih nikmat.
"Mau tambah lagi, Nak?" Bude Halimah bahkan sangat perhatian pada Louisa, membuat wanita itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan sedikit canggung. Terlebih lagi kini sudah ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya.
Tak jauh dari posisinya di antara kelompok lelaki tentu ada Enrico bersama Pak Yatno dan yang lainnya. Diam-diam pria itu mencuri pandang ke arah Louisa hanya untuk melihat bagaimana istrinya berusaha untuk berbaur dengan orang-orang di desa.
Ternyata Louisa tidak seburuk yang dikira. Wanita itu tidak sombong dan tidak memperlihatkan keangkuhannya saat berhadapan dengan orang-orang di sini. Tidak seperti Louisa ketika berhadapan dengannya yang terlihat sangat congkak dan angkuh.
"Di sini semua makanannya sederhana saja, Nak. Kalau mau makan rendang, cuma di hari resepsi saja," ujar Bude Santi.
Perkataan dari Bude Santi tentu saja mengundang senyum dari beberapa orang.
"Tidak masalah yang penting rasanya enak. Sayur nangka juga enak kok. Bumbunya juga terasa," ujar Louisa.
Percaya lah, ini kali pertama ia makan sayur nangka yang ia kira rasanya aneh di awal ketika melihat bentuknya, tapi justru membuatnya ingin menambah terus, namun malu.
Tanggapan beragam dikeluarkan dari ibu-ibu yang ada di sekitar sampai akhirnya mereka selesai makan dan Louisa bertugas untuk mengangkat piring-piring kotor bersama yang lain.
Enrico sendiri sudah pergi keluar bersama bapak-bapak dan mengobrol di luar meninggalkan Louisa yang berbaur dengan ibu-ibu di sini. Mereka senang menyambut Louisa karena meskipun terlihat seperti wanita kaya, pada kenyataannya wanita itu tidak sombong sama sekali.
Sore harinya, Louisa dibuat kebingungan karena tidak tahu tempat di mana ia untuk mandi.
"Air sumur sudah semakin dalam. Biasanya orang-orang di sini bakalan mandi di sungai. Nak Louisa nanti mandinya bareng Anisa dan juga Eren saja." Bude Halimah meringis menatap istri keponakannya.
Air di sumur memang sudah semakin dalam apalagi sering digunakan untuk acara resepsi. Jadinya mereka akan mandi di sungai yang berada tak jauh dari posisi rumah mereka saat ini berada.
Bude Halimah juga berencana untuk membeli air bersih menggunakan toren agar bisa digunakan untuk memasak besok-besok mengingat tamu pasti akan semakin banyak yang datang.
"Oh, tidak apa-apa, Bude."
Louisa tersenyum meskipun di dalam hatinya ia sedikit merinding karena harus mandi di sungai. Bayangan sungai yang kotor dan juga berwarna coklat tentu saja membuat Louisa rasanya ingin muntah. Namun, wanita itu tidak akan menunjukkannya pada Bude Halimah demi menghargai wanita itu.
Louisa masuk ke dalam kamar mengambil pakaian yang akan digunakan nanti serta handuk.
"Ini, Mbak, sarung buat mbak mandi. Masih baru kok sarungnya." Anisa yang akan menikah segera menyerahkan sarung ketika melihat Louisa yang baru keluar dari kamar.
"Terima kasih," ucap wanita itu. Segera ia mengambil sarung tersebut dengan ekspresi yang terlihat agak bingung karena tidak tahu cara menggunakannya dan kenapa harus memakai sarung.
"Ayo."
Segera Anisa yang berusia 22 tahun mengajak istri dari kakaknya itu untuk pergi melewati halaman belakang rumah diikuti oleh Eren yang berusia 15 tahun adik dari Anisa.
"Kamu mau mandi di sungai?"
Wanita itu langsung menghentikan langkahnya ketika melihat Enrico yang berada tak jauh dari posisinya.
Baik Anisa maupun Eren serta Louisa sama-sama menghentikan langkah mereka.
"Iya, Mas."
Di hadapan keluarga tentu Louisa tidak akan menunjukkan betapa tidak harmonisnya hubungan mereka. Maka dari itu Louisa akan bersikap sopan pada pria di hadapannya.
"Kalau begitu nanti aku yang akan menjaga dari kejauhan supaya tidak ada laki-laki yang akan mendekat."
Segera pria itu menyamakan langkahnya dengan Louisa sementara Anisa dan juga Eren melangkah di depan.
Tidak ada obrolan di antara keduanya saat mereka melewati pepohonan menuju sungai.
Sesampainya di lokasi, Louisa dibuat tercengang dengan pemandangan di hadapannya.
Sungai kotor dengan warna coklat yang ada di benaknya tidak ada sama sekali. Pemandangan di hadapannya adalah sebuah air sungai yang sangat jernih hingga bebatuan di dalamnya terlihat. Kemudian, air sungai juga mengalir dan tidak diam di tempat. Ada beberapa wanita yang juga mandi mengenakan sarung untuk menutupi bagian tubuh atas dan juga sampai lutut mereka.
"Kalian mandi saja nanti aku akan menunggu di sini." Enrico segera membalikkan tubuhnya tidak menatap ke arah sungai lagi.
Meskipun pakaian yang dikenakan para wanita itu menutupi tubuh mereka, Enrico merasa tidak pantas untuk melihatnya.
Akhirnya Louisa bersama kedua adik sepupu dari Enrico memilih untuk mandi dan membuat kelompok sendiri.
Louisa tidak lupa untuk membagikan sabun serta samponya pada kedua sepupu dari suaminya itu.
"Shampo dan juga sabun Mbak wangi sekali. Pasti harganya sangat mahal. Apa rambut aku nanti bakalan seperti rambut Mbak pakai shampoo ini? Soalnya biasa aku pakai shampo yang 500-an," kata Eren dengan mata terpejam. Gadis itu menikmati wanginya aroma shampo dan juga sabun yang menguar dari botol milik Louisa.
"Tidak mahal sama sekali kok. Kebetulan aku belinya waktu lagi ada diskon besar-besaran jadi harganya dikasih yang murah," ujar Louisa berbohong.
Jelas saja shampo dan juga sabun yang dibelinya sangat wangi dengan harum yang memikat karena ia beli dengan harga yang cukup mahal dan ia memesan pada salah satu temannya yang sering bolak-balik dari Indonesia ke Paris.
"Beneran wangi sekali, Mbak."
Anisa yang melihat tingkah laku adiknya hanya bisa menggelengkan kepala.
"Mbak ada dua botol lagi yang masih utuh. Nanti Mbak bakalan kasih kamu satu botol shampo dan satu botol sabun," ujar Louisa, yang langsung mendapat pekikkan senang dari Eren.
"Mbak Lou, beneran aku mau dikasih shampo dan juga sabun?"
Manik mata gadis itu langsung berbinar senang menatap Louisa.
"Eren, ingat kata ibu, kamu tidak boleh seperti itu," peringat Annisa pada adiknya.
"Tidak apa-apa. Aku memang biasanya bawa beberapa botol untuk dimasukkan ke dalam koper. Kebetulan karena Eren suka makanya aku kasih," ujar Louisa menatap Anisa.
"Tapi tetap saja tidak enak, Mbak," sahut Anisa.
"Iya, tidak apa-apa. Aku kok yang mau kasih."
"Tuh, Mbak, dengar apa kata Mbak Louisa kalau aku tidak apa-apa." Eren menjulurkan lidahnya pada Anisa yang membuat perempuan itu menggelengkan kepala melihat tingkah laku adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Louisa
Short StoryLouisa, wanita 24 tahun yang selalu menahan diri dari segala macam hal. Termasuk, menahan diri dari siksaan pernikahan yang membelenggu dirinya. Louisa, perempuan penurut itu kini berubah menjadi perempuan barbar yang sangat berbeda dari dirinya seb...