11

321 40 7
                                    

Louisa menjinjitkan kakinya untuk mengambil mie yang berada di rak paling atas.

Hari ini tiba-tiba saja ia ingin sekali menikmati semangkuk mie dan bersiap untuk memasak sendiri.

Sebuah lengan terulur lebih dulu mengambil satu bungkus mie yang memang sudah dituju oleh Louisa.

Wanita itu segera memutarkan tubuhnya dan tepat pada saat itu pemilik lengan yang tidak lain adalah Enrico menundukkan kepalanya.

Deg!

Tatapan mereka bertemu. Sesuatu yang berada di sekeliling seolah tidak ada.

Dari jarak sedekat ini, Enrico akhirnya menyadari jika memang entah itu Louisa berdandan atau tidak, wanita itu akan terlihat sangat cantik. Lihat saja, pagi ini tanpa make up sekalipun, wajahnya terlihat sangat bersih. Rambutnya tergerai dengan indah, sementara pakaiannya hanya mengenakan celana pendek serta baju kaos.

Padahal selama ini Louisa selalu mengenakan rok panjang dengan kemeja kebesaran serta rambut yang diikat entah itu kepang dua ataupun menjadi satu.

"Kalau mau mie lagi ngomong. Biar aku yang mengambilnya."

Aku? Kening wanita itu spontan mengerut ketika mendengar panggilan Enrico untuk dirinya sendiri yang biasa menyebutkan kata 'saya' bukan 'aku' di hadapannya.

Louisa mengambil bungkus mie tersebut kemudian bergerak sedikit untuk menjauh dari Enrico. Ekspresi wajahnya tampak tenang kemudian segera meletakkan panci di atas kompor dan menyalakannya.

Beberapa hari yang lalu ia pernah belajar masak mie dengan asisten rumah tangga dan tentunya ia sekarang sudah tahu caranya.

Ini sudah jam 8 dan hari Minggu ini mereka  tidak ada kegiatan di luar.

Bibi yang biasa bersama mereka sedang tidak ada di rumah karena wanita itu sedang berbelanja kebutuhan pokok.

Sementara Enrico menarik kursi untuk diduduki seraya menatap pada Louisa.

Louisa memotong secara asal cabai, sosis, kemudian dimasukkannya ke dalam panci. Baru kemudian wanita itu memasukkan mie dan juga bumbunya.

Gerakannya yang cepat dan ringkas membuat Enrico terus memperhatikan wanita di hadapannya.

"Kenapa kamu terus memperhatikan aku?" Louisa  tahu jika Enrico terus menatapnya.

Punggungnya terasa panas seperti ada bara api yang merayap di punggungnya, membuatnya segera menatap Enrico dengan mata elangnya.

Ekspresi wajah Enrico tampak tak berdaya.

"Memangnya tidak boleh kalau aku memperhatikan istriku sendiri?"

Pria itu menatap Louisa dengan sebelah alis terangkat yang membuat wanita itu mengangkat bahunya acuh.

Segera setelah mie matang, Louisa memasukkannya ke dalam mangkuk kemudian berlalu pergi begitu saja meninggalkan Enrico yang masih duduk di kursi yang mengarah pada mini bar.

Sedangkan wanita itu sendiri kini sedang menyalakan televisi yang sedang menampilkan berita pagi dari dalam negara maupun mancanegara.

Duduk dengan tenang di lantai kemudian Louisa mulai menyantap mie yang sudah dimasak.

Ada Enrico yang sepertinya baru saja keluar dari dapur dan duduk tepat di sebelah Louisa, namun pria itu duduk di atas sofa, sambil memegang secangkir kopi yang baru saja direbus.

Hanya ada suara penyiar berita di televisi karena keduanya sama-sama diam tidak mau ada yang memulai pembicaraan.

Beberapa menit kemudian Enrico meletakkan cangkir kopi di atas meja, tepat berada di hadapan mangkuk mie Louisa.

"Aku dengar dari Fiona kalau kamu menggantikan posisi papa? Benar itu?"

Louisa tidak langsung menjawab karena wanita itu sedang mengunyah mie yang dicampur dengan sosis seraya fokus pada layar televisi.

"Terlalu banyak hal yang kamu tahu tapi dari mulut Fiona." Louisa tidak menjawab pertanyaan Enrico melainkan menyindirnya terlebih dahulu.

"Memangnya kalau aku bertanya langsung ke kamu, kamu bakalan menjawab dengan benar?"

"Itu tergantung dengan pertanyaanmu." Louisa mengangkat bahunya dengan acuh.

"Benar apa yang dikatakan Fiona kalau kamu menggantikan posisi papa?" Enrico mengulangi pertanyaan yang sama.

Sejujurnya ia cukup penasaran dengan Louisa terlebih lagi tentang posisi perempuan ini yang menjadi bos di perusahaan milik keluarganya sendiri.

"Aku bukan menggantikan posisi Pak Ando tapi memang itu sudah menjadi hak-ku." Wanita itu menyahut dengan datar. "Lagi pula sudah cukup mereka menikmati kekayaanku selama ini aku pinjamkan dan sudah waktunya aku untuk mengambil alih apa yang sudah menjadi milikku."

"Pinjamkan? Kenapa kata-katamu agak terdengar kasar? Kamu tidak lupa kalau perusahaan itu besar karena Papa juga. Seharusnya kamu membiarkan beliau untuk tetap memimpin perusahaan karena bagaimanapun bertahun-tahun perusahaan itu tidak akan sebesar sekarang kalau tidak karena papa."

Emosi memuncak di dada Louisa. Wanita cantik itu membanting  mangkuk berisi mie yang masih setengah disantapnya hingga pecah. Tidak hanya mangkuk tapi juga meja  yang memang terbuat dari kaca ikut retak.

Aksi yang dilakukan oleh Louisa tentu membuat Enrico terkejut tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh istrinya di depan matanya sendiri.

Louisa berdiri menatap nyalang pada Enrico.

"Kamu harus ingat, Enrico, jangan pernah ikut campur dalam urusanku. Kalau kamu mau memberikan uang kamu untuk perempuan seperti Fiona, terserah. Tapi, jangan pernah mengatur urusan kantor dan aku!" Jari telunjuk wanita itu mengarah pada Enrico. Kejadian tersebut begitu tiba-tiba hingga membuat asisten rumah tangga yang baru tiba menatap terkejut pada pemandangan di depannya.

"Apa hubungannya dengan Fiona, Lou? Apa salahnya kalau aku hanya memberi saran. Bagaimanapun papa itu adalah Papa kandung kamu sendiri."

Enrico benar-benar tidak mengerti apa hubungan pembicaraan mereka kali ini dengan Fiona.

"Tentu saja ada urusannya dengan Fiona. Kalau Pak Ando masih menjabat sebagai direktur utama di perusahaan, mereka akan tetap hidup dalam kemewahan. Bukannya itu juga keinginan kamu supaya perempuan pujaan hati kamu itu hidup mewah?" Louisa berdecak sinis menatap tajam pada  Enrico yang tercengang di tempat. "Pakai uang kamu sendiri untuk memberi kemewahan ke dia. Jangan memaksa mengubah aku atas sesuatu yang sudah lama aku inginkan."

Louisa pergi dengan amarah yang membuncah di hatinya, menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas.

Louisa benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah laku Enrico seperti pria suci saja.  Melarangnya untuk melakukan hal yang tidak dinginkan pada pria yang disebut papa. Memangnya dia pikir dia siapa? Batin Louisa berdecak dengan marah.

Sementara Enrico yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas melihat bagaimana meja yang berantakan karena kemarahan Louisa.

Padahal niatnya baik supaya Louisa tidak menyimpan dendam pada papanya sendiri. Pria itu tidak ingin Louisa semakin terjerumus dalam lubang kebencian. Jika hidup seperti itu terus-menerus pasti Louisa tidak akan pernah bisa bahagia.

Segera Enrico memerintahkan pada asisten rumah tangga untuk merapikan meja sementara ia sendiri kembali ke kamar dengan pikiran yang berkelana entah ke mana.

Jika hubungannya terus seperti ini maka tidak akan ada kemajuan dalam rumah tangganya sementara ia sendiri tidak ingin menikah berulang kali dalam hidupnya.

"Ini salahku dari awal yang tidak mau memulai," ujar Enrico menyalahkan dirinya.

LouisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang