Bab 7
Keheningan kembali terjadi di meja makan. Dengusan kembali dari Enrico yang langsung mengalihkan tatapannya pada Evan.
"Kenapa kamu mengadukan Mas pada ibu? Kamu tahu sendiri kalau Ibu tidak menyukai Fiona."
"Terus Mas sendiri kenapa masih berhubungan dengan Fiona kalau tahu ibu tidak menyukainya?" Evan bukannya menjawab tapi justru bertanya balik. "Mas harus tahu kenapa tidak ada perempuan di dalam keluarga kita selain Ibu sebelum kedatangan Mbak Louisa, itu pasti ada sebabnya."
"Sebabnya biar kita sebagai laki-laki harus mengerti dan memahami tidak sepatutnya kita menyakiti perempuan, terlebih lagi kita dilahirkan oleh seorang wanita hebat seperti ibu." Ethan menjawab dengan tenang seraya menatap adik dan juga kakaknya.
Emil yang mendengar perkataan kakak-kakaknya langsung bertepuk tangan. "Mas Ethan dan juga Bang Evan yang masih belum menikah saja mengerti. Masa, Mas Enrico yang udah tua tidak mengerti juga. Percuma pintar materi tapi bodoh dalam mencerna," kata pemuda itu terang-terangan.
Di dalam ajaran keluarga mereka memang dibiarkan untuk saling berpikiran dan menyampaikan pendapat masing-masing yang tentunya masih dalam batas wajar. Maka tidak heran jika ketiga adik Enrico bisa mengungkapkan apa yang seharusnya mereka ungkapkan.
Terlebih lagi ketika ibu mereka membenci Fiona, tentunya mereka ikut membenci perempuan itu. Bagi mereka, apa yang tidak disukai oleh ibu mereka tentu mereka tidak akan menyukainya.
Terserah orang bilang mau mereka anak mami ataupun apapun itu, tidak apa-apa. Selama itu masih ajaran dalam hal yang baik, tidak masalah bagi mereka. Fiona sebenarnya tidak pantas dibenci, hanya saja wanita itu berhasil membuat bapak mereka pernah masuk rumah sakit karena darah tinggi akibat pertengkaran Enrico dan juga bapak mereka yang tidak setuju anaknya berhubungan dengan sosok seperti Fiona.
Louisa yang melihat mereka hanya bisa menggelengkan kepala kemudian segera merapikan perkakas makan yang sudah kotor dan dibawa ke dapur untuk dicuci.
Ada Emil dan juga Evan yang membantu Louisa sehingga membuat pekerjaannya bisa beres dengan cepat.
Emil dan Evan kemudian melangkah pergi meninggalkan Louisa yang katanya ingin merapikan dapur lebih dulu.
Ibu mertuanya tidak kelihatan sejak meninggalkan meja makan tadi dan ia tahu jika mungkin ibu mertuanya saat ini sedang berusaha untuk menenangkan emosi yang hampir saja meledak.
Saat Louisa sedang mengelap kompor tiba-tiba suara derap langkah datang dari belakang membuatnya menoleh dan mendapati sosok Enrico yang tiba-tiba muncul di belakangnya berdiri tepat di sebelahnya, namun masih menyisakan jarak beberapa senti.
"Aku belum bilang ke ibu atau bapak tentang perceraian kita. Aku takut akan memperburuk kondisi bapak yang lagi sakit-sakitan. Mas tenang saja, nanti kalau bapak sudah agak sehat, aku akan segera bilang ke mereka kalau kita akan bercerai."
"Saya tidak akan menceraikan kamu."
Gerakan tangan Louisa terhenti di atas kompor dengan lap tangan yang digenggam erat tanpa sadar olehnya.
Wanita itu kemudian memutar tubuhnya menghadap pada sosok pria yang berstatus sebagai suaminya itu dan menatapnya dengan tatapan tenang yang dimiliki olehnya.
"Itu terserah kamu. Hak kamu untuk mengatakan apapun tapi yang pasti aku tidak akan pernah mau menjadi istrimu lagi. Hidup berumah tangga denganmu sama saja menguji nyali. Tidak ada surga dan kesenangan sama sekali."
Setelah itu, Louisa berbalik pergi meninggalkan aroma parfum vanilla yang tercium oleh Enrico ketika wanita itu melewatinya.
Louisa sendiri sudah mengisi perut dan berniat untuk pulang ke rumah.
Langkahnya langsung terhenti ketika ia akan pergi ke kamar Ibu mertuanya dan mendengar suara-suara dari dalam.
Ini adalah suara milik Ethan dan juga Evan. Keduanya sedang membahas uang semester yang sudah terlambat belum dibayar. Belum lagi uang praktikum dan lain-lainnya di mana totalnya cukup banyak untuk Ethan dan Evan.
"Padahal kemarin aku sudah bilang sama ibu buat aku kerja aja tapi Ibu melarang. Padahal seru kalau kuliah sambil kerja. Tadi juga aku sudah lihat lowongannya ternyata sudah diisi." Evan berkata seraya menatap ibunya yang duduk di sebelah sang bapak.
Begitu juga dengan Ethan yang kini raut wajahnya sudah terlihat sangat frustrasi berbeda sekali dengan ekspresi wajahnya yang tadi terlihat sangat santai dan tenang.
"Ibu dan bapak tidak mau kalian kuliah sambil kerja karena takut kalian tidak bisa mengimbanginya dan kalian bakalan stres. Nanti Ibu bakalan cari pinjaman dulu ke keluarga bapak, siapa tahu pakde kalian bakal bantu ibu."
"Pakde Samin maksud ibu? Jangan. Dipinjemin tidak, tapi nanti kita yang bakalan kena omel," larang Ethan.
"Iya. 'Sudah biaya kuliah mahal kamu sok-sokan mau kuliahin anak dua-duanya lagi di universitas swasta yang mahal.' pasti pakde Samin bakalan bilang seperti itu," kata Evan ikut melarang ibunya.
"Ya sudah kalau begitu kalian tenang saja. Nanti ibu yang bakalan pikirkan. Pokoknya yang penting kalian itu harus rajin belajar biar cepat lulus dan cari kerja. Jangan ngandelin Mas kalian terus. Kasihan Mas kalian itu, apalagi dia harus bayar cicilan mobil, belum lagi biaya hidup di kota tidak murah."
"Hmmm, apa kita pinjem sama Mbak Louisa saja?" Tiba-tiba saja Evan memberikan ide pada ibunya yang langsung ditolak oleh wanita itu.
"Husst, walaupun Mbak Louisa itu kakak ipar kalian, bukan berarti kita boleh meminjam uangnya sembarangan. Kalau kita pinjam pasti tidak bakalan diterima kalau untuk dikembalikan lagi. Ibu benar-benar merasa tidak enak hati kalau harus meminjam. Uang berobat bapak yang pernah ibu pinjem ke Mbak kalian dan ibu kembalikan lagi, ditolak sama Mbak kalian."
Punggung Evan yang bersemangat langsung melemas ketika mendengar jawaban dari ibu mereka. Tagihan dari pihak kampus sudah diteruskan padanya dan sudah ditanya berkali-kali sehingga membuat Evan kadang merasa malu. Hanya saja ternyata Ibu mereka menolak untuk meminjam uang dengan kakak ipar mereka yang kaya itu.
Sementara di depan, Louisa yang mendengar obrolan ketiganya tidak jadi mengetuk pintu dan duduk kembali di ruang keluarga sambil menunggu mereka keluar dan ia akan langsung pamit untuk pulang.
Tak lama kemudian terlihat Enrico yang melangkah pergi menuju kamar kedua orang tuanya bertepatan dengan Evan dan Ethan yang keluar dari kamar.
"Kalian sudah mau pulang?"
Bu Helena sudah menyimpan amarahnya pada sang anak dan kini bersikap biasa saja. Meskipun nadanya agak dingin terhadap Enrico.
"Iya, Bu. Aku sudah mau pulang begitu juga dengan Louisa."
Louisa yang namanya disebut segera bangkit berdiri menghampiri Ibu mertuanya dan mengatakan jika memang ia akan pulang.
Bu Helena sendiri sudah menawarkan untuk bermalam namun keduanya sama-sama menolak sehingga membuat wanita itu harus mengantarkan kedua anak dan menantunya ke pintu utama.
Berhubung Enrico menyusul Louisa sore harinya tentu saja mereka membawa kendaraan masing-masing.
Baru setelah menyaksikan anak dan menantunya pergi, wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Bu Helena akan berpikir bagaimana caranya agar bisa melunasi tagihan uang kuliah anak-anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Louisa
ContoLouisa, wanita 24 tahun yang selalu menahan diri dari segala macam hal. Termasuk, menahan diri dari siksaan pernikahan yang membelenggu dirinya. Louisa, perempuan penurut itu kini berubah menjadi perempuan barbar yang sangat berbeda dari dirinya seb...