2

349 40 1
                                    


Bab 2

"Ayo, kita bercerai."

Dentingan suara sendok yang terjatuh di atas piring terdengar memecahkan keheningan ketika suara seorang wanita yang mengajak bercerai suaminya terdengar.

Enrico,  mendongakkan kepalanya menatap perempuan cantik mengenakan dress ketat pada tubuhnya itu dengan tatapan tak percaya.

Ekspresi terkejut Enrico tentu saja tidak membuat wanita itu goyah ataupun mengubah ekspresi wajahnya.

"Ayo, kita bercerai," ulangnya sekali lagi.

Louisa dengan berani menatap wajah tampan Enrico. Wanita itu terlihat santai dan tenang seolah sedang mengajak Enrico untuk bertamasya bukan untuk bercerai.

"Kamu bukan Louisa."

"Huh?" Louisa mengangkat sebelah alisnya kemudian tertawa sumbang. "Iya. Aku memang bukan Louisa."

Ekspresi wajah Enrico langsung menegang menatap tajam pada sosok wanita di hadapannya.

"Ah, maksudku kalau tentu saja aku bukan Louisa yang kamu kenal selama ini. Louisa yang asli adalah diriku yang sekarang. Heh, aku lupa memperkenalkan diri padamu."  Louisa tersenyum menatap Enrico. "Aku adalah Louisa Putri Maharani.  Orang-orang lebih tahu jika aku adalah Putri Louisa. Punya gelar sarjana, dan dulunya bekerja sebagai model dari usia 13 sampai 18 tahun."

Louisa menatap Enrico yang masih tercengang di tempat, tampak tidak percaya dengan apa yang dikatakan olehnya.

"Kamu mungkin heran dan tidak percaya kalau aku adalah Louisa. Pernikahan kita di gelar sekitar 1 tahun yang lalu. Ini adalah permintaan nenek. Di depan nenek tentu saja aku adalah cucu yang baik dan penurut. Aku akan selalu mengikuti apa kemauan nenek termasuk mengubah penampilanku agar aku bisa berpenampilan sopan."

Louisa tersenyum manis kemudian melangkah  santai mendekati Enrico kemudian meletakkan kedua lengannya di bahu pria itu.

"Karena nenek sudah meninggal, tentu saja tidak ada yang bisa melarangku dan mengaturku untuk melakukan ini dan itu. Sekarang hidupku adalah milikku sendiri. Jadi, tidak perlu menjadi orang lain lagi."

Louisa menegakkan tubuhnya kemudian kembali duduk di kursinya.  "Ah, iya, soal perceraian, nanti kamu yang urus atau aku yang mengurusnya? Kamu sepertinya sangat sibuk untuk urusan pekerjaan. Jadi, aku akan mengurus sendiri soal perceraian kita. Berikan saja berkas-berkas yang bisa aku bawa ke pengadilan," kata Louisa dengan santainya.

Perempuan cantik itu kemudian mengibaskan rambut panjangnya sebelum dengan santai memotong roti bakar yang sudah mulai hangat.

Sedangkan di depannya, Enrico terus diberi kejutan demi kejutan yang tidak pernah disangka akan muncul di dalam hidupnya.

Setahun belakangan ini memang Enrico berstatus sebagai suami dari Louisa. Hanya saja pria itu memang tidak tahu apa-apa tentang wanita yang dinikahinya.  Orang tuanya hanya bilang jika Louisa adalah gadis yang sudah mereka jodohkan dengannya sejak dulu, sebelum dirinya mengenal Fiona.



*

Louisa melangkah dengan santai menuruni undakan anak tangga.

Penampilannya tampak cantik dan memukau dengan terusan berwarna kuning tanpa lengan yang sangat cocok di kulit putihnya.

Selama ini Enrico hanya bisa melihat wajah dan juga punggung tangan serta kaki Louisa. Sehari-hari wanita itu hanya akan mengenakan pakaian serba tertutup. Hanya kepala saja dengan rambut yang diikat membentuk sanggul tanpa make up.

Sekarang ketika ia melihat Louisa dengan penampilan yang berbeda, entah mengapa membuat Enrico merasa tidak suka.

"Mau ke mana?" Pria itu bertanya dengan nada dingin menghentikan langkah Louisa.

Wanita itu menoleh ke belakang menemukan sosok Enrico yang sepertinya akan berangkat bekerja.

Mengibaskan rambutnya, Louisa kemudian  melenggok santai menghampiri Enrico dan berdiri di hadapan pria itu.

"Aku ada keperluan di luar. Kalau kamu mau menyerahkan berkas-berkas untuk proses perceraian kita, letakkan saja di ruang keluarga ataupun di kamarku. Hari ini aku ada urusan yang tidak bisa ditunda."

Setelah mengucapkan kalimat panjang lebar tentu saja Louisa langsung berbalik pergi meninggalkan Enrico yang terpaku di tempat, menatap punggung Louisa dengan tatapan tak terbaca.

Sementara wanita itu sendiri langsung bergegas memasuki mobilnya yang baru saja tiba setelah ia meminta pada pengacara neneknya membelikan mobil baru untuknya.

Tujuan Louisa tentu saja ke kantor firma hukum bapak Adi Prakasa, pengacara senior di firma hukum tersebut sekaligus pemiliknya, di mana Pak Adi sendiri adalah orang kepercayaan dan juga pengacara neneknya dari dulu sampai sekarang.

Tiba di lokasi, Louisa langsung turun dari mobil. Menyampirkan rambut panjangnya ke bahu di kanan dan kiri, wanita itu kemudian melangkah memasuki area kantor dengan tenang dan santai.

Tujuannya langsung menuju lantai 2 karena ia sudah terbiasa menemui Pak Adi di kantornya.

"Hello everyone!" Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Louisa melangkah masuk dan menemukan ada beberapa orang di dalam ruangan tersebut termasuk Pak Adi sendiri.

Tidak merasa bersalah sama sekali karena keterlambatannya yang sudah terlambat beberapa menit dari janji pertemuan.

Semua yang berada di ruangan Pak Adi langsung menoleh menatap Louisa.


  Terusan di atas paha yang dikenakan oleh Louisa bergerak seiring langkahnya menuju sofa kosong yang sepertinya memang disediakan untuknya.

Melepaskan kacamata yang menempel di wajahnya, wanita cantik itu tersenyum dan duduk dengan anggun.

"Maaf ya kalau menunggu lama.  Soalnya di jalanan tadi lagi ada kemacetan."

Padahal sebenarnya Louisa memang melajukan kendaraannya dengan sangat pelan. Sengaja, agar orang-orang ini  menunggunya.

"Baiklah, berhubung karena Nona Louisa sudah ada di sini, maka saya siap membacakan surat wasiat yang sudah ditinggalkan oleh Nyonya Adeline. Surat pernyataan ini dibuat secara sadar oleh Nyonya Adeline selama beliau masih dalam keadaan sehat walafiat."

Louisa dan beberapa orang lainnya menganggukkan kepala. Wanita itu duduk dengan tenang menunggu pembagian warisan yang akan dilaporkan oleh Pak Adi pada mereka semua.

Tatapan Louisa  terlempar pada  sosok pria paruh baya bernama Orlando Fawrez, sosok pria yang berstatus sebagai Papa kandungnya.

Tak sengaja tatapan mereka berdua bertemu, dan Louisa menyunggingkan senyum dingin menatap pria paruh baya tersebut layaknya seperti bukan menatap Ayah kandungnya sendiri, melainkan orang asing.

Deg.

Sementara jantung pria paruh baya itu berdegup kencang ketika tatapan matanya tak sengaja bertemu pandang dengan putri yang selama ini ia abaikan karena kehidupan barunya bersama keluarga baru.

Sudah berapa tahun Ando tidak pernah bertemu dengan putrinya sendiri? Mungkin hampir 14 tahun lebih. Pertemuan pertama mereka setelah 14 tahun berlalu tentu saja di area pemakaman ibunya. Kemudian, ini merupakan pertemuan kedua mereka.

"Ini adalah keputusan Nyonya Adeline secara langsung dan tidak bisa diganggu gugat."

Akhirnya pembukaan pembacaan wasiat dan juga poin-poin penting dibacakan oleh Pak Adi selaku pengacara langsung dari Nyonya Adeline.

Sementara yang lain mendengar dengan tatapan tak percaya terlebih lagi hampir seluruh kekayaan milik wanita tua itu dijatuhkan pada sosok Louisa yang bahkan selama ini tidak pernah muncul di hadapan keluarga besar mereka.

LouisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang