15

133 24 8
                                    

Malam menjelang dan saat ini baik Enrico maupun Louisa sudah kembali ke kamar setelah mereka berbincang dengan anggota keluarga yang lain.

Rumah pun masih agak ramai karena di depan ada bapak-bapak yang akan meronda. Memang seperti inilah ketika akan menjelang hari pesta pernikahan. Baik siang maupun malam tidak pernah sepi.

Louisa menatap kamar yang tidak terlalu luas tersebut. Tatapan wanita itu jatuh pada ukuran tempat tidur yang tidak begitu luas. Sementara di samping tempat tidur adalah ruang yang sedikit dengan lemari pakaian yang tersusun. Belum lagi koper-koper mereka juga sudah memenuhi kamar serta ada beberapa barang yang memang dititipkan oleh bude Halimah di kamar ini.

Jadi tidak ada tempat kosong untuk mereka tidur selain di atas kasur.

Louisa dan juga Enrico berdiri menghadap tempat tidur mereka.

"Tidak ada tempat tidur lain selain di kasur ini. Aku tidak bisa tidur di luar kamar karena ini akan mengundang kecurigaan dari Bude dan juga Pakde," kata Enrico menatap Louisa.

"Mau bagaimana lagi. Tidak ada cara lain selain kita tidur bersama di sini. Kalau Mas punya ide Mas bisa cari solusi sendiri itupun kalau mas tidak mau tidur satu kasur denganku. Mengingat dulu betapa najisnya Mas untuk satu kamar denganku," kata Louisa terang-terangan.

"Dulu aku tidak mau satu kamar dengan kamu memang wajar. Apalagi kita tidak saling mengenal dan tiba-tiba saja menikah."

"Omonganmu terlalu basi, Mas. Apa susahnya kamu bilang kalau kamu terlalu malas satu kamar dengan perempuan jelek seperti aku dulu. Sekarang aja kamu yang mau berhadapan sama aku lebih dari 5 menit karena penampilanku yang sekarang. Hmm, lelaki memang hobi memandang fisik." Louisa naik ke atas tempat tidur kemudian merebahkan tubuhnya secara langsung.

Posisinya berada di pojok tepat pada dinding kamar. Ada jendela di atasnya yang sudah di teralis sehingga Louisa tidak takut kalau ada pencuri yang akan masuk.

Sedangkan untuk Enrico sendiri tidak bisa membantah karena apa yang dikatakan oleh Louisa hampir semuanya benar. Hanya saja saat itu ia memang tidak terbiasa ada di satu kamar dengan orang asing. Belum lagi saat itu dia belum move on dari Fiona karena pernikahan yang mendadak dan ia harus memutuskan hubungannya dengan kekasihnya itu.

Enrico naik ke atas tempat tidur dan merebahkan tubuhnya. Beruntung di kamar ini terdapat dua bantal dan satu guling. Sebenarnya tadi ada dua guling juga namun diminta oleh Bude Halimah untuk saudara yang lain karena kekurangan guling.

Tidak ada selimut bed cover seperti di rumah mereka. Hanya sebuah kain tipis yang bisa menampung mereka berdua.

"Kapan ya kita bisa bercerai?" Adalah pertanyaan yang diajukan oleh Louisa yang membuat Enrico segera menoleh.

"Tidak akan ada perceraian, Louisa."

Louisa juga ikut menolehkan kepalanya pada Enrico. "Maksud kamu, kita berdua akan tetap dalam hubungan aneh ini? Apa yang kita harapkan dari sebuah pernikahan yang dipaksa? Kamu bahkan tidak mau menerima aku sebagai istri kamu dari awal. Jangan mentang-mentang karena aku sudah menampilkan jati diriku yang sebenarnya, kamu jadi berubah pikiran karena memandangku secara fisik."

"Mungkin faktor kecilnya karena itu. Tapi, aku tidak mau perceraian karena aku hanya ingin menikah satu kali dalam seumur hidup." Enrico berkata menatap Louisa. "Aku juga tidak bisa mengecewakan ibu dan bapak karena mereka sangat berharap dengan pernikahan kita."

"Tapi faktanya yang kamu lakukan ini sangat terbalik dengan apa yang kamu katakan. Hampir 1 tahun pernikahan kita pada kenyataannya, kamu tidak memiliki inisiatif untuk bergerak." Louisa berdecak menatap Enrico. "Jadi, jangan salahkan aku kalau aku tidak memiliki ekspektasi apapun terhadap pernikahan kita."

"Aku memang belum memulainya sejak awal karena aku harus menghilangkan perasaanku dulu terhadap Fiona. Tidak mungkin aku bisa menjalin hubungan dengan kamu sementara perasaanku masih pada perempuan yang pernah aku cintai."

"Ah, ngomong-ngomong soal Fiona, setelah kita bercerai, bukannya lebih gampang kamu untuk kembali lagi dengan Fiona?"

"Lou, kalau aku benar-benar ingin menjalin hubungan dengan Fiona tentu saja aku bisa melakukannya. Aku bisa menjalin hubungan secara diam-diam di belakang kamu ataupun di depan kamu secara langsung. Tapi, aku tidak sepicik itu. Aku mungkin dulu masih mencintai dia, tapi bukan berarti aku akan menjadikan dia selingkuhan dan menyelingkuhi kamu."

Louisa terkekeh kemudian meletakkan tangannya di atas kepala dengan posisi miring ke samping menghadap pada Enrico.

"Mas, dengan kamu yang sering keluar sama dia dan bahkan banyak menghabiskan waktu dengan dia di luar, meskipun kamu tidak menjalin hubungan sama dia, itu tetap saja namanya selingkuh. Kamu bilang kamu mau move on dari dia, apa seperti itu cara kamu move on?" Wanita itu berucap sambil menyentuh hidung Enrico dengan ujung jarinya.

"Apapun yang kamu katakan aku tidak akan peduli lagi. Bagiku yang terpenting kamu adalah istriku sampai kapanpun. Aku tidak mau mengecewakan ibu dan bapak. Jadi, suka atau tidak, kamu akan tetap menjadi istriku."

Enrico menarik jari lembut Louisa dari hidungnya sambil menatap wajah istrinya yang memang sangat cantik meskipun lampu dalam kamar terang 5 watt saja.

Enrico menyesal baru menyadarinya setelah Louisa merubah penampilannya jadi lebih cantik dan ketika wanita itu berkata ingin bercerai.

Tatapan mereka saling beradu sebelum akhirnya Louisa menarik jari di telunjuknya kemudian berbalik menghadap pada tembok memunggungi Enrico untuk tidur.

Sedangkan Enrico hanya menatap punggung Louisa yang mengenakan piyama tidur berwarna merah muda berbahan satin.

Di sisi kamar lain, Bude Halimah saat ini sedang bertelepon ria dengan Bu Helena yang berada di kota.

"Kamu tenang saja. Nanti Mbak yang akan bantu kamu di sini. Tadi juga Mbak sengaja memasukkan barang-barang Mbak ke kamar mereka biar sempit dan tidak ada alasan bagi mereka untuk tidur berpisah. Setidaknya dengan itu mereka bisa berdekatan," ujar Bude Halimah pada Bu Helena.

"Terima kasih banyak Mbak karena sudah mau membantu aku.  Aku tidak mau kalau Enrico sampai cerai dengan Louisa. Aku memiliki keyakinan 100% dan firasatku selalu benar kalau suatu hari nanti Enrico pisah dengan Louisa, hidup anakku pasti tidak akan karuan."

Suara Bu Helena terdengar di seberang telepon. Sejak muda Bu Helena memang seringkali memiliki firasat yang selalu benar. Entah itu didatangkan secara langsung ataupun lewat mimpi. Bu Helena tidak mau putranya mengalami penyesalan yang teramat sangat karena memilih untuk berpisah dengan Louisa suatu hari.

Katakanlah dirinya egois karena memaksa putranya untuk bertahan dalam sebuah pernikahan dengan perempuan yang tidak dicintai. Tidak masalah kalau ia harus dicap seperti itu. Baginya yang terpenting adalah anak laki-lakinya hidup dengan tenang dan bahagia karena kelak ketika ia dan suami sudah tidak ada lagi di dunia ini, Enrico pasti akan kehilangan arah ketika bertemu dengan perempuan lain.

"Kamu tenang saja dan fokus pada kesembuhan suamimu. Mbak di sini akan berusaha untuk mengakrabkan mereka. Mbak sudah mendengar semua cerita kamu, dan Mbak akan usahakan yang terbaik."

"Terima kasih banyak, Mbak."

Kedua wanita itu mengobrol selama 5 menit sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon mereka karena hari sudah semakin malam.

LouisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang