13

206 35 2
                                    

"Kita cari makan dulu di rest area. Perjalanan masih jauh dan kamu pasti lapar," ujar Enrico ketika Louisa menatapnya.

Saat ini mereka sedang berada di depan sebuah restoran yang memang disediakan di rest area.

Louisa juga merasakan lapar setelah 1 jam perjalanan dan pagi tadi juga ia tidak sempat untuk sarapan karena ia bangun kesiangan.

Louisa ikut turun dari mobil sambil menyelendang tas miliknya mengikuti langkah Enrico yang sudah lebih dulu masuk.

"Saya mau ayam penyet dan air tawar dinginnya satu," ujar Louisa pada pelayan.

"Saya samakan saja dengan istri saya," ujar Enrico.

Pelayan perempuan itu mencatat pesanan keduanya kemudian segera berbalik pergi.

Tidak ada obrolan serius di antara kedua.

Louisa bermain dengan ponselnya sambil sesekali membalas pesan dari teman-temannya.

"Kamu chatting dengan siapa? Tidak ingat kalau di depan kamu ada suami kamu?" Enrico yang merasa jengah diabaikan oleh Louisa segera berkata seraya menatap istrinya itu.

"Sama teman-temanku. Kenapa aku harus ingat dengan kamu?"

Enrico terdiam mendengar apa yang diucapkan oleh Louisa.

Tidak lagi ada obrolan di antara keduanya sampai kemudian pelayan datang menyajikan makanan untuk mereka berdua. Syukurnya, makanan di sini lumayan enak sehingga Enrico yang merasa lapar memilih untuk menambah makanan dan Louisa hanya duduk dengan tenang menunggu Enrico selesai makan.

Baru kemudian mereka melanjutkan kembali perjalanan dan 2 jam kemudian mereka akhirnya tiba di sebuah desa yang terasa sangat sejuk dengan pemandangan hijau sepanjang mata memandang.

Iya, padi-padi para petani sebentar lagi mungkin akan panen mengingat ketika mata melihat sekitar pemandangan hijaulah yang menjadi penghibur mereka.

Entah itu Louisa maupun Enrico sama-sama terdiam. Keduanya sama-sama tidak mau mengalah untuk mengajak ngobrol satu sama lain.

Tak lama kemudian mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah yang lumayan ramai dengan orang-orang yang duduk di area depan.

Kedatangan mobil Enrico tentu saja menarik perhatian orang-orang yang berada di luar. Meskipun acara belum dimulai tapi tenda sudah didirikan. Sudah banyak para tetangga yang berkumpul entah itu untuk membuat makanan atau hanya untuk sekadar mengobrol satu sama yang lain.

Bude Halimah dan juga suaminya Pak Yatno yang mendengar jika ada mobil dari kota masuk langsung melangkah keluar dari rumah.

Mereka kemudian tersenyum melihat mobil asing yang sudah diduga mereka jika itu adalah mobil milik keponakan dari bude Halimah.

"Akhirnya keponakanku datang juga, Pak," ujar Bude Halimah.

"Iya, Bu. Ayo, kita sambut."

Pak Yatno dan juga bude Halimah melangkah mendekati mobil yang sudah terbuka hingga muncul sosok Enrico dan juga Louisa yang baru saja turun dari mobil.

"Bude." Enrico tersenyum sopan kemudian mencium punggung tangan bude dan juga pakdenya. Begitu juga dengan Louisa yang mengikuti Enrico dari belakang.

"Bagaimana perjalanan kalian? Maaf, ya, gara-gara si Anisa mau menikah, kalian jadi repot-repot buat datang ke tempat kecil seperti ini," ujar bude Halimah menatap keponakannya. Tidak lupa wanita itu juga tersenyum menatap istri dari keponakannya yang memang pernah bertemu dengannya saat acara akad nikah berlangsung. "Louisa apa kabar? Sehat, Nak?"

"Tidak merepotkan sama sekali, Bude. Lagipula Anisa menikah satu kali seumur hidup, masa tidak bisa hadir? Ibu dan bapak juga menyampaikan permintaan maaf karena tidak bisa hadir," ujar Enrico, menjawab pertanyaan budenya lebih dulu.

"Alhamdulillah, aku sehat, Bude."

Bude tersenyum mengusap punggung tangan Louisa kemudian beralih menatap pada sosok Enrico.

"Bude dan juga Pakde mengerti, Co. Apalagi penyakit bapakmu sudah semakin parah. Kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga saja Allah kasih bapakmu panjang umur, supaya bisa menyaksikan pernikahan anak-anaknya." Bude Halimah berkata sambil menatap kedua anak muda di hadapannya. Namun, keduanya terlihat kebingungan dengan apa yang diucapkan oleh Bude Halimah mengingat Pak Hadi hanya sakit biasa dan tidak terlalu parah.

"Kita berdoa aja semoga bapak kalian sehat terus. Jangan kasih kabar yang bikin syok. Tetangga sini 10 hari yang lalu meninggal gara-gara dengar suara teriakan cucunya. Ternyata penyakit jantungnya kambuh karena dikagetkan," ujar Pakde Yatno.

"Ayo-ayo masuk ke dalam." Bude Halimah membawa keduanya untuk masuk ke dalam rumah dan menyapa anggota keluarga yang lain yang tentunya disambut dengan hangat oleh mereka.

"Bude sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua. Semoga kalian betah ya. Maaf sekali kalau rumah Bude sangat sederhana, tempat tidurnya pun dari kasur kapuk biasa." Bude Halimah membuka sebuah pintu kamar dan menunjukkan sebuah kamar pada kedua pasangan suami istri itu.

Di dalam kamar tidak banyak perabotan. Hanya ada lemari berisi pakaian dan sebuah jendela dengan dua daun pintu. Juga, tempat tidur yang tidak terlalu luas seperti yang ada di rumah mereka.

"Tidak apa-apa, Bude. Ini saja sudah bersyukur dan yang penting, kami tidurnya di atas kasur bukan batu seperti zaman dulu," canda Enrico yang disambut gelak tawa Bude Halimah.

Wanita itu kemudian mempersilakan pasangan suami istri itu untuk beristirahat sejenak sementara ia sendiri akan membantu di dapur untuk memasak bumbu-bumbu untuk makan siang mereka.

Beruntung Enrico dan juga Louisa jalan pagi-pagi sekali sehingga keduanya bisa makan siang bersama keluarga dan juga tetangga Bude Halimah di sini.

Baik Enrico maupun Louisa sama-sama membawa koper mereka sendiri. Enrico membawa satu koper miliknya yang berisi pakaian santai dan juga untuk acara resepsi pernikahan Anisa. Sementara Louisa membawa dua koper satu di antaranya berisi pakaian santai, sementara satunya lagi berisi pakaian untuk acara resepsi dan juga alat make up serta perlengkapan wanita lainnya.

"Kamu tahu apa yang dibilang sama Bude Halimah tadi?"

"Bilang apa?" Enrico menatap tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh istrinya.

"Tentang penyakit kambuh dan tidak bisa mendengar kabar yang mengejutkan. Bukannya bapak sakit biasa saja? Kenapa Bude Halimah berkata seolah-olah bapak punya penyakit jantung?"

Louisa membalikkan tubuhnya setelah meletakkan koper di dekat lemari seraya menatap pria yang berstatus sebagai suaminya itu.

Kening Enrico juga spontan mengerut. Ia juga merasa ada yang janggal  dengan apa yang diucapkan oleh Bude Halimah tadi.

"Entahlah. Mungkin pulang dari sini nanti aku akan bertanya pada bapak dan ibu."

Louisa mengganggukan kepalanya kemudian segera menatap ke arah tempat tidur mereka. Bagian lantai bukan keramik tapi semen biasa. Ukuran tempat tidurnya pun hanya bisa menampung 2 orang tanpa bisa bergerak dengan bebas.

Louisa menatap ke arah tempat tidur kemudian beralih pada sosok Enrico.

"Siapa yang akan tidur di bawah?"

Adalah sebuah pertanyaan yang agak mengejutkan Enrico dan untuk sesaat dia bingung mau menjawab apa.

LouisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang