Duh,
readers udah pada SHOCK duluan kayaknya padahal aku baru MULAI, Eh.
(;;;・_・)----------------------------------------
Sedayu menghembuskan napas panjang setelah menyalurkan tenaga dalam pada tombak Kanjeng Kiai Baru Klinting. Benda pusaka ini ternyata sama 'keras kepalanya' dengan majikan sebelumnya alias Ki Ageng Mangir Wanabaya. Namun jangan sebut namanya Sedayu Datu jika menyerah kalah pada benda.
Manusia itu derajatnya lebih tinggi dibanding makhluk apapun. Tombak bahkan bukan makhluk tapi cuma benda. Jadi amat sangat memalukan jika Sedayu sampai kalah.
Sayang sekali jika tombak pusaka ini kehilangan tajinya. Mendapatkan tombak Kanjeng Kyai Baru Klinting saja butuh trik dan intrik. Oleh karena itu, Sedayu akan memastikan tombak ini memberikan 'kesetiannya' sehingga kelak bisa digunakan untuk melawan musuh-musuh Mataram.
Sedayu memandang tombak Kanjeng Kyai Baru Klinting yang sudah tidak bergetar lagi. Tombak memang Sedayu letakkan di meja persembahan dengan bagian atas dan bawah tombak di sangga kayu cendana. Anggap saja, ruang penyimpanan benda-benda pusaka punya tambahan anggota baru.
Sebelah tangan Sedayu mengangkat parukuyan--wadah atau tempat membakar kemenyan yang terbuat dari tanah liat--sedang sebelah lagi digunakan untuk mengibaskan asap kemenyan ke sekeliling tombak. Setelahnya, menaburkan kembang setaman sebagai ritual terakhir... Ah, maksudnya terakhir untuk hari ini karena besok dan hari selanjutnya Sedayu harus mengulang ritual yang sama hingga genap tujuh hari.
Sesaat matanya memandang sekeliling sebelum berbalik badan untuk keluar dari ruang penyimpanan benda-benda pusaka. Dibandingkan menyaksikan keriuhan pesta penyambutan Gusti Kanjeng Putri Pembayun lebih baik Sedayu beristirahat saja. Sungguh, menyalurkan tenaga dalam itu sangat menguras energi.
Langkah Sedayu terhenti saat melihat Nyai Pradni berada di ruang tengah. Seorang abdi dalem juga terlihat sedang menyajikan ramuan obat. Tanpa pikir dua kali, Sedayu membatalkan niat awalnya untuk beristirahat dan berganti melangkah mendekati sang guru.
"Guru tidak enak badan lagi?" tanya Sedayu khawatir setelah mendudukan diri di kursi.
Nyai Pradni mengeryit saat cairan pahit itu terasa oleh lidahnya. Sudah terlalu sering meninum ramuan obat ini tapi tetap tak terbiasa oleh rasa pahitnya. Berganti untuk meneguk wedang sebelum menjawab pertanyaan Sedayu, "Aku baik-baik saja."
Sedayu memutar matanya malas. "Kalau tidak sakit, kenapa Guru sudah kembali padahal ada perayaan besar di Pendopo Agung?!"
"Perayaannya sudah selesai," jawab Nyai Pradni kemudian menganggukkan kepala saat abdi dalem pamit undur diri.
"Haaah." Alis Sedayu nyaris menyatu sebab heran. Perasaan dirinya tidak begitu lama berada di ruang penyimpanan benda-benda pusaka. Tak juga bisa dibilang sebentar. Sedang-sedang sajalah.
Pokoknya amat mustahil acara perayaan selesai secepat ini. Belum lagi, katanya akan ada pertunjukan tari Bedhaya juga. Tarian sakral yang teramat jarang ditampilkan di keraton.
"Perayaan penyambutannya ternyata berubah menjadi perayaan kematian!" jelas Nyai Pradni diakhiri helaan napas panjang.
"Haaah." Bukan hanya alis yang bertaut kini Sedayu bahkan mencondongkan badannya lebih ke depan. Sumpah, Sedayu gagal paham keadaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang (Tamat)
Historical FictionBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...