Ketakutan makin menjadi kala di depan rumahnya ada beberapa kuda. Pintu depan juga terbuka. Tanpa pikir dua kali, Sedayu menghambur masuk.
Pemandangan yang pertama dilihatnya serupa dengan mimpinya tadi malam. Barang-barang di dalam rumah hancur berantakkan. Tak terasa air mata Sedayu menetes turun tanpa bisa dicegah.
Bergegas melintasi ruang depan menuju ruang tengah. Mengabaikan tubuh yang tertelungkup di sisi kanan. Mata Sedayu hanya tertuju ke arah beberapa orang yang sedang berdiri mengerumuni ayahnya yang tergeletak di tanah dengan tubuh berdarah-darah.
"BOPOOOOO!!!" teriakan Sedayu menggema kala dengan mata kepalanya sendiri melihat parang dicabut dari dada ayahnya.
Terlambat lagi seperti di mimpi... Sedayu terlambat datang.
Ramalan selalu jadi kenyataan.
Pandangan Sedayu buram karena air mata menggenang di kelopak mata sebelum meluncur turun ke pipinya. Sedayu jatuh terduduk tak jauh dari pembatas ruangan. Ingin berlari tapi rasanya kakinya mendadak lunglai. Jadi yang dilakukannya hanya beringsut perlahan demi perlahan guna mendekati tubuh ayahnya.
Sayangnya, sebelum bisa mendekat. Tangan Sedayu ditarik oleh salah satu penjahat hingga dipaksa berdiri. "Dia yang kita cari?!" tanya orang itu.
"Lepas... Lepas!" Sedayu mencoba meronta hingga berusaha menendang walau kesulitan karena dirinya menggunakan jarik panjang. "Bopo... Bopo... Hiks... Hiks..."
Tidak ada ketakutan yang muncul walau tahu bahwa perampok-perampok ini bisa membunuhnya seperti yang mereka lakukan pada ayahnya. Tak juga mau memohon agar dibiarkan hidup. Demi Dewa. Sedayu malah ingin mati menyusul ayahnya. Siapa tahu mereka sekeluarga bisa benar-benar bersatu di nirwana sana.
"Periksa!" Perintah Suropati.
Djakti bergegas mendekati anak perempuan yang dijaga oleh Renggono. Menarik salah satu tangan si anak lalu meletakkan batu berwarna merah tua di telapak tangan kecil itu. Memaksa si anak untuk mengepalkan tangan. Tak lama ada cahaya kemerahan berpendar di sela-sela jari kecilnya.
Batu itu bukan batu biasa. Hanya orang-orang yang memiliki kekuatan gaib yang mampu membuat batu itu memancarkan cahaya. Gurunya memberikan pada Djakti dahulu kala.
Suropati memandang pria muda agak bongkok dengan sebelah mata berwarna putih yang berdiri tak jauh darinya. "Benar dia?" tuntutnya. Tak ingin membuang waktu.
"I-Iya ini di-dia se-sepertinya," balas Djakti dengan suara tergagap.
Tak ayal Suropati berdecak mendengar jawaban Djakti. Selain memiliki kekuatan gaib, Djakti nyaris banyak kekurangannya sebagai manusia. Kurus, pendek, bongkok, matanya buta sebelah serta gagap saat bicara. Wajahnya? Jangan ditanya. Tak ada tampan-tampannya sama sekali. Namun pemuda ini adalah titipan dari Sang Tuan jadi Suropati tak bisa menolak. Lagian, hanya Djakti yang tahu di mana dan yang mana orang buruan mereka.
Memang dirinya diminta membawa seseorang. Perempuan tepatnya, tapi tidak pernah pasti berapa umurnya. Tak disangka, buruan mereka kali ini ternyata adalah anak kecil. Anehnya, tidak ada rasa kasihan sedikitpun yang muncul di benak Suropati. Ah, mungkin hatinya telah mati.
Tidak penting juga mengasihani orang lain. Anggap saja nasib ayah dan anak ini sedang sial. Jujur, Suropati tidak tahu apakah anak ini akan dibunuh atau diapakan. Perintah yang diberikan padanya yaitu bawa perempuan itu hidup atau mati jika ingin dapat bayarnya. Singkat, padat, jelas, dan tak perlu banyak tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang (Tamat)
Ficção HistóricaBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...