Ҡìʂâɦ 19

978 161 18
                                    

Tadi pagi sampai siang orang sibuk ngurusin Indonesia.
Sore sibuk ngurusin Ayang.
Nah, buat malam kita traveling virtual ke masa lalu yuuu!

Masa di mana Indonesia bahkan belum ada.

---------------------------------------------

Tangan Sedayu terangkat lalu luruh. Berbalik badan kemudian melangkah. Namun dirinya malah berhenti dalam empat langkah. Kedua tangannya kini meremas gelisah. Menggigit bibir bawahnya sebelum membalikkan badannya untuk melangkah kembali menuju pintu yang masih tertutup. Sekali lagi tangannya terangkat untuk mengetuk pintu akan tetapi____

"Kreeeet," suara bagian bawah kayu jati bergesekan dengan lantai menandakan pintu telah terbuka duluan sebelum diketuk.

Sedayu mau tak mau tersenyum. "Pagi, Guru."

Alis Nyai Pradni menukik curiga. "Kau membuat masalah lagi?" tebaknya. "Apa tidak bisa kau membuat nenek tua ini menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang, hm?"

"Ck, seakan aku biang masalah saja, Guru," balas Sedayu tak terima.

Nyai Pradni menutup pintu terlebih dahulu kemudian meninggalkan Sedayu begitu saja. "Tapi jika kau berubah manis pagi-pagi artinya pasti ada masalah yang telah terjadi," ujarnya tenang sambil melangkah. "Aku mengenalmu bukan sehari, dua hari," lanjutnya.

"Siapa yang berubah manis, Guru? Aku hanya ingin mengajak Guru untuk sarapan pagi." Sedayu bersungut-sungut di belakang Nyai Pradni yang memang melangkah di depannya.

Nyai Pradni tiba-tiba berbalik badan hingga membuat Sedayu seketika ikut berhenti melangkah. Jari telunjuk yang terlihat telah keriput itu terangkat lurus ke wajah Sedayu. "Itu maksudku. Mengajakku untuk sarapan adalah 'tindakan manis' yang amat jaraaaaaang terjadi, Nduk. Mungkin kau lupa karena biasanya kau datang terlambat untuk sarapan. Kadang malah kau tidak muncul sama sekali. Anak gadis yang sering bagun siang, mau jadi apa kau?" sindir Nyai Pradni.

Sedayu pemalas? Hmm... iya sih, agak pemalas. Bukan niat bermalas-malasan akan tetapi dirinya memang baru bisa tidur di dini hari bahkan kadang menjelang fajar. Berbeda sekali dengan kebiasaannya saat masih kecil dulu.

Kecuali ada acara khusus di pagi hari maka Sedayu biasanya tidur dan melewatkan sarapan. Dukun itu bukan juru masak yang kerjanya dimulai pagi hari, justru dukun berkegiatan di malam hari. Jadi Sedayu tidak salah-salah amat jika tidak bangun pagi-pagi buta.

"Guruuu!" rajuk Sedayu lalu melangkah cepat ke depan hingga bisa mengaitkan tangannya di siku Nyai Pradni. Mereka akhirnya berjalan bersama menuju ruang makan.

"Ck, kau membuat napsu makanku berkurang," ucap Nyai Pradni sok galak walau tidak menepis kaitan tangan Sedayu.

Nyai Pradni tidak punya anak. Akan tetapi munculnya Sedayu dulu kala membuat dia merasa punya cucu... punya keluarga. Memang di keraton dirinya dihormati oleh banyak orang tapi tetap saja semua berjarak. Tidak benar-benar ada yang dekat. Sungguh, Nyai Pradni bersyukur memiliki Sedayu dalam hidupnya yang agak membosankan ini, Eh.

"Aku membantu Mbok Darwi membuat makanan kesukaan Guru."

"Halah!"

"Hahaha," tawa Sedayu terdengar walau pelan.

Seperti kebiasaan yaitu mereka akan makan berdua padahal meja cukup besar. Tidak juga pernah ada tamu yang datang untuk makan di sini. Berhubung tak ada orang yang cukup gila hingga bersedia makan di kediaman dukun.

Walau berada di keraton tapi tetap saja tempat ini terkucilkan. Buktinya, tempat ini tak bernama padahal seluruh bagian keraton ada namanya. Percayalah, benteng, patung, tiang dan pintu di keraton saja ada namanya masing-masing. Lah, bangunan besar ini malah tidak diberi nama sama sekali.

Bukan Calon Arang (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang