"Aku selalu suka mendengar kau bernyanyi tapi tembangmu kali ini luar biasa," suara Pangeran Rangga Samudra terdengar makin jelas artinya dirinya berjalan mendekati Sedayu. "Apa kau sengaja menyindirku dengan tembangmu, Nyi Datu?"
"Ssssssssttttt!" suara desisan terdengar sebelum Sedayu sempat menjawab. Walau dengan perut gendut berisi ayam, Naja tetap berusaha mengangkat kepalanya seolah mengancam orang yang tak diundang.
Pangeran Rangga Samudra tentu berhenti melangkah. Dirinya waspada. Hanya orang gila yang tidak tahu jika racun kobra mematikan. Hanya orang gila juga yang mau bermain-main dengan binatang berbisa. Lebih gila lagi karena orang itu berjenis kelamin perempuan bukan laki-laki.
Sebenarnya, perempuan macam apa yang ada di hadapannya ini?
"Ck, dia tetap tidak suka padaku!" cibir Pangeran Rangga Samudra tak terima.
Ular kobra di taman ini bisa dibilang adalah peliharaan keraton Mataram jadi seharusnya tahu siapa tuannya. Namun, si ular malah tampak menurut pada orang lain. Walau tak diberi akal tapi sudah semestinya binatang itu menggunakan intuisinya.
"Dia tidak akan melukai Pangeran selama hamba masih ada," balas Sedayu tenang. Kini dirinya mau tak mau menengok ke belakang. "Tapi sebaiknya, jika hamba tidak ada maka jauhi ular jenis apapun. Ulo iku apese, Pangeran."
"Aku memang tidak berencana dekat-dekat dengan binatang bersisik dan tak berkaki itu." Pangeran Rangga Samudra mendelik jijik ke arah ular kobra, berharap binatang melata bisa mendengarnya. Walau mustahil sebab ular tidak punya telinga.
Keadaan taman memang temaran tapi tidak mengaburkan pandangan Sedayu kala memandang sosok Pangeran Mahkota Kerajaan Mataram. Walau tanpa senyum merekah di wajah pemuda itu. Namun, Sedayu tetap terpana akan ketampanannya.
Sial, Sedayu pasti sudah gila... gila karena cinta.
Pangeran Rangga Samudra berdecak lagi lalu memutuskan duduk di batu besar. Kedua tangannya bersedekap di dada. Matanya menatap tajam ke arah Sedayu. "Sejak kapan kau tahu?" tanyanya dengan nada dingin.
Bersyukur karena wajah Sedayu tersembunyi apik di balik topeng. Siapa yang tidak salah tingkah jika dipandangi terus-menerus begini? Apalagi jantungnya sudah berdetak tak karuan.
Sedayu memalingkan muka terlebih dahulu ke arah kolam. "Keraton ini tempat tinggal Pangeran. Hamba tidak punya hak melarang Pangeran yang mungkin lebih suka tidur di rerumputan dibanding di ranjang," jawab Sedayu menyindirnya. Anggaplah dirinya kurang ajar.
Iya, ini bukan pertama kalinya Pangeran Rangga Samudra berada di taman ini. Tapi jangan salah paham. Sumpah demi apapun, Sedayu tidak janjian dengannya. Lagian, biasanya Pangeran Rangga Samudra tidak pernah menampakkan diri di hadapan Sedayu kecuali seperti saat ini.
Disebut kebetulan itu hanya jika terjadi sekali atau dua kali. Akan tetapi kejadian macam ini tidak bisa lagi disebut sebagai kebetulan semata. Harap diketahui bahwa Pangeran Rangga Samudra selalu ada di sini setiap Sedayu datang. Toh, Sedayu tidak pergi ke taman ini setiap hari melainkan Jumat malam di pertengahan bulan. Tentu Sedayu juga tak tahu apakah sang Pangeran datang ke taman di hari lain.
Sungguh, Sedayu penasaran tapi tak ingin mengganggu sang Pangeran. Tidak juga berani bertanya langsung. Sebenarnya yang terpenting bagi Sedayu yaitu tak ingin besar kepala dan mengira keberadaan Pangeran Rangga Samudra di sini adalah untuknya.
Pangeran Rangga Samudra itu ibaratnya gunung. Terlalu tinggi untuk digapai tapi diabaikan juga mustahil sebab terlihat mempesona mata. Sedayu hanya berusaha sadar diri, sadar posisi.
Bagaimana bisa Sedayu tahu keberadaan Pangeran Rangga Samudra padahal orang itu selalu bersembunyi? Dari teman tak kasat mata tentunya. Sebenarnya, penunggu taman itu bukan hanya si ular kobra tapi juga para demit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Calon Arang (Tamat)
Fiksi SejarahBukan cerita tentang Ratu dan Raja. Bukan juga cerita tentang Putri dengan Pangerannya. Bukan pula cerita tentang persaingan Ratu dan Selir untuk mendapat hati sang Raja. Ini cerita tentang seorang dukun perempuan yang tersembunyi di dalam bangunan...