10. Bencana

420 43 7
                                    

Haga dan Ray pulang sekolah bersama dengan berjalan kaki. Tidak seperti biasanya, mereka tidak banyak berbicara. Namun karena tidak terbiasa dengan keadaan yang hening, Ray akhirnya menghentikan langkahnya, Haga pun ikut terhenti lalu ia menatap mata Ray seolah meminta penjelasan, tetapi Ray hanya terdiam.

"Kenapa, Ray?"

"Yakin kamu nanya begitu sama aku?"

Haga terkekeh pelan lalu mengusak rambutnya Ray, Ray hanya berdecak dan melanjutkan langkahnya. Haga berniat untuk menyamakan langkahnya dengan Ray, tidak diam saja, Ray yang tidak mau kalah dari Haga mempercepat langkahnya sambil tertawa pelan.

"Sini kejar!" Teriak Ray yang jaraknya sudah jauh dari Haga.

"Lihat ke depan, Ray! Bahaya!"

Ray menjulurkan lidahnya dan terus berlari karena Haga sudah mulai mengejarnya.

"HAGAA! LIHAT RUMAH DI ATAS SANA!" Teriak Ray sambil menunjuk sebuah rumah yang ada di lereng gunung. Haga pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Ray, setelah melihat rumah yang dimaksud oleh Ray ia pun mengangguk.

"JANGAN KHAWATIR, NANTI KITA BUAT RUMAH JUGA DI SANA. SEBELAHAN, YA!" Ray berlari mundur, ia menatap mata Haga dan tersenyum manis.

Haga berhenti berlari, ia menatap Ray dengan penuh arti dan tersenyum hangat. Walau sedikit aneh karena Ray yang mengucapkannya, ia sangat tersentuh dengan ucapan Ray. Namun senyuman itu tak bertahan lama, Haga membulatkan matanya.

DUAGHH BRUKKK

"RAYYY!!" Haga segera berlari ke arah Ray.

Ray terjatuh menabrak tumpukan kardus bekas yang ada di pinggir jalan, Haga memukul kepala Ray karena kesal dan khawatir.

"Aduh! Sakit!!!" Omel Ray sambil memegang kepalanya.

"Lagian kenapa lari mundur?! Kayak yang punya kekuatan aja. Sakti lu?!!!"

"Soalnya kamu ada di belakang aku?! Kan ga mungkin kamu ada di belakang tapi aku tetep lihat ke depan."

Haga diam sejenak ketika mendapati jawaban itu dari Ray, entah kenapa Haga merasa sedikit... tersipu?? Ia memalingkan wajahnya.

"T-tapi ga sambil lari juga. Kalo yang ditabrak itu mobil gimana?!"

"Kalo mobilnya mati sih ga kenapa-napa." Jawab Ray sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal sambil cengengesan.

"Ya, kalo jalan! Gimana sih!" Jelas Haga sambil menjitak kening Ray.

"YA, JANGAN SAMPE LAH!" Jawab Ray sambil mengusap keningnya yang terasa panas.

Haga berdiri, ia berniat untuk melanjutkan perjalanannya tanpa menghiraukan Ray.

"Haga, tunggu dong!"

"Dih, marah?!"

"Harusnya aku ga sih yg marah?" Batin Ray.

Ray bangun dari duduknya dan berusaha menyamakan langkanya dengan Haga.

"Haga~~" Ray menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia bingung harus bagaimana.

Ray mencolek-colek tangannya Haga untuk mencari perhatiannya. "Haga, maafin dong..."

Haga tetap tak menggubris perkataan Ray dan hanya berjalan, sebenarnya ia sudah tak marah, ia sengaja mengabaikan Ray agar dirinya tidak mengulangi hal yang sama. Ray susah sekali diberi tahu, ia sering terluka karena kecerobohannya itu, dan Haga lah yang selalu mengobatinya.

"Kayaknya kalo makan es krim seger nih." Ucap Ray yang berusaha untuk membujuk Haga.

"Ekhemm ekhemm!"
"Es krim seger nih!!" Ucapnya sedikit berteriak agar Haga mendengarnya. Sebenarnya tidak berteriak pun Haga akan mendengarnya karena jarak mereka sangat dekat.

Haga berjalan ke arah warung yang ada di depan mereka, ia membawa es krim favoritnya dan duduk di kursi yang ada di sana. Ia langsung memakan es krimnya.

"Bayarin." Ucapnya kepada Ray.

Mendengar itu, semangatnya ketika mengambil es krim hilang seketika.

"Ha-ha-ha iya."

Setelah membayar es krim Ray duduk di samping Haga, mereka memutuskan untuk berdiam sejenak di warung itu. Ray memakan es krim seraya melihat pemandangan gunung yang tertutup oleh beberapa bangunan, ia hanya bisa melihat puncaknya saja.

"Kenapa mau bikin rumah di gunung?" Tanya Haga yang menyadari bahwa Ray terus menerus menatap gunung itu.

"Biar tenang, kamu kan ga suka berisik."

"Makasih... es krimnya." Ucap Haga yang diangguki oleh Ray.

Haga terkekeh pelan, sangat geli mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Ray, tetapi ia juga senang. Sebelumnya Ray tidak pernah seperti ini. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulangnya dengan santai seraya bertukar canda dan tawa.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤ ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Ketika sampai di depan rumah, senyuman Haga menghilang seketika, ia tak berkutik ketika melihat mobil Ayahnya yang terparkir di halaman rumah. Ray menggenggam tangan Haga dengan erat, ia menatap Haga dengan sangat khawatir.

"Mau ke rumah aku dulu?" Tawarnya.

Haga menggelengkan kepalanya kaku, ia tidak akan membiarkan Ibundanya berduaan di tempat yang sama dengan Ayahnya itu. Ia tidak mau kejadian 2 tahun yang lalu terulang kembali. Ray melepaskan genggamannya lalu menepuk bahu Haga pelan untuk menyemangatinya, ia pun masuk ke dalam rumah dengan perasaan khawatir terhadap Haga. Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Haga masuk ke dalam rumah tanpa ragu.

"Aku pulang." Ucapnya pelan.

Seperti biasanya, Helen dengan sigap menyambut kepulangan Haga. Ia membawakan tas Haga dan menyimpannya di kursi.

"Mau makan?" Tawarnya seolah tak terjadi apa-apa, hal ini membuat Haga sedih.

"Aku tadi jajan sama Ray, masih kenyang, Bun."

Brian keluar dari kamarnya karena mendengar suara Haga. Ia menatap Haga sambil tersenyum manis. Senyuman itu terlihat palsu, Haga tak paham apa maksudnya.

"Baru pulang, Nak?"

"Baru pulang, Yah?" Tanya Haga dengan penuh amarah, ia mengepalkan tangan dan matanya berkaca-kaca karena sedang menahan amarah.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Masa Kecil | RENHYUCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang