Prolog - Luka yang Terpendam

121 6 0
                                    

Memangnya tak kasihan padaku?
Yang terus-terusan berlari dengan kaki menginjak jutaan duri,
meski sampai merangkak penuh lirihan perih.

Memangnya tak kasihan padaku?
Yang sekuat hati menghindari kenyataan paling sakit —
hingga pada akhirnya aku terjerembab lagi.

Apa tak kasihan padaku?
Mati perlahan-lahan dalam tubuh menggigil yang tak lagi diselimuti.

Apa tak kasihan padaku?
Insan kecil tak berdaya, penuh luka dimana-mana,  juga umpatan dari manusia paling berkuasa.

_____☂_____

Wanita dengan rambut yang dicepol besar itu berteriak dengan kencang dihadapanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wanita dengan rambut yang dicepol besar itu berteriak dengan kencang
dihadapanku. Ia membentakku dengan kasar hanya karena aku lupa menutup pintu kulkas setelah aku mengambil susu dari dalamnya.

Aku memutar bola mataku dengan jengah, lalu menaikkan volume musik dari handphone-ku yang tersambung dengan earphone yang kupakai. Tapi sayang, rupanya suara melengking miliknya masih mampu untuk merusak keharmonisan lagu yang kudengar.

"Berisik," ucapku kemudian berdesis setelahnya.

Rupanya wanita itu semakin marah, kini ia melangkah untuk mendekatiku. Tanganku bersiap untuk menangkis jika saja ia berniat untuk menampar wajahku yang mulus.

Namun kupikir niat buruknya itu harus sia-sia, sebab baru satu langkah saja, aku dan wanita di depanku bibuat menoleh saat mendengar panggilan dari oma — nenekku yang berusia lima puluh delapan tahun keluar dari kamarnya.

"Desi! Violet!" tegur wanita tua itu sembari melangkah untuk mendekat.

"Dia yang mulai, Oma," kataku sambil mendengus.

Tante Desi — wanita yang dari tadi membentakku melotot tidak terima.

"Jangan sembarangan, Violet! Kamu berbuat kesalahan!" bentaknya dengan nada tinggi. Kadang aku sendiri bingung, mengapa suaranya bisa se berisik ini?

"Cuma lupa nutup kulkas. Disentil pake telunjuk juga udah ketutup." Aku menyilangkan tanganku di dada.

Bisa kulihat wanita itu menatapku dengan tidak percaya, kemudian ia menghadap oma seakan meminta pembelaan.

"Udahlah, Desi. Udah malam, harusnya hal sepele seperti ini nggak perlu kamu besar-besarkan," ujar oma dan itu berhasil membuatku menyeringai tipis ke arah tante Desi.

Oma membelaku.

"Sekarang kembali ke kamar masing-masing. Oma pusing dengar kalian berantem terus."

Dengan begitu aku segera menghampiri oma dan mengecup pipinya dengan singkat kemudian segera berlari kecil menuju kamarku. Meninggalkan tante Desi yang terdengar mendengus tidak suka.

"Goodnight, Oma," ucapku sebelum menaiki tangga ke lantai dua.

Aku berjalan menuju kamarku dan berhenti di depan pintu berwarna ungu pastel dengan stiker bergambar bunga violet, persis seperti namaku, untuk menandakan bahwa ini ruanganku.

Aku masuk dan mengunci pintunya. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, dan kupikir sebaiknya aku langsung tidur saja sebab hari besok adalah hari senin dan aku harus bangun pagi-pagi buta.

Aku menarik selimutku sampai dada dengan earphone yang masih terpasang di telingaku. Mendengar musik saat hendak tidur adalah salah satu hal yang paling aku sukai. Aku mengatur volumenya dibagian paling rendah dan mulai memejamkan mata.

Baru lima menit berlalu dan aku belum terlelap sama sekali, hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras dan itu selalu sanggup membuatku marah dan jengkel. Aku menaikkan volume musiknya menjadi yang paling tinggi dan meletakkan bantal diatas wajahku guna meredam suara berisiknya.

Tapi semuanya seakan tak pernah cukup karena kini atmosfer-nya menjadi lebih dingin dua kali lipat dan aku harus meringkuk meski sudah menggunakan selimut tebal. Ini benar-benar membuatku nyaris menangis sebab hujannya kini makin deras, nyaris seperti badai.

Demi Tuhan! Aku lebih baik diomeli selama satu jam penuh oleh tante Desi daripada harus berada diposisi ini. Hujan selalu saja membuatku tak bisa melawan. Rasanya seperti butir air itu menyerangku dengan brutal dan aku tak bisa apa-apa.

Bukan cuma benci hujan, aku juga benci dengan segala yang bersangkutan dengan hujan. Air yang menggenang dimana-mana, udara dingin yang sangat tak kusukai, lembab dan basah, dan entah sejak kapan aku mulai bersin-bersin tiap kali hujan turun.

Apalagi kala ingatan pahit yang selalu saja berhasil membuka luka itu kembali menganga, sanggup membuat dadaku terasa sesak. Hatiku tercerai berai, berserakan dimana-mana. Tak ada yang tersisa selain rasa perih dalam raga.

Waktu menunjukkan pukul dua pagi tapi hujannya tak kunjung reda dan aku juga tak kunjung terlelap. Tak ada yang bisa aku lakukan selain diam ketakutan karena suara hujannya begitu berisik, dan meringkuk kedinginan di bawah selimutku.

Hingga pada akhirnya aku benar-benar menangis.

_____☂_____

_____☂_____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang