Jollyn masuk begitu saja ke dalam kamarku yang sengaja tak dikunci. Entah apa tujuannya kali ini. Aku mengabaikannya begitu saja dan memilih untuk tetap fokus pada bacaan di tanganku.
"Lo ngambil heels gue, ya?"
Aku mengerutkan kening saat Jollyn tiba-tiba saja menodongku dengan pertanyaan tidak penting itu.
"Ngapain gue ngambil heels lo? Kayak nggak ada kerjaan aja." Aku menjawab sambil terus membaca novel yang kupegang.
Bisa kudengar gadis itu mendengus kasar, sedetik kemudian ia bersuara lagi.
"Tunggu, ini kan novel yang langka itu? Darimana lo dapet?"
Mendengar itu, aku merotasikan bola mataku dengan malas sambil menjawab pertanyaannya.
"Dari om Harga."
Raut wajah Jollyn tampak terkejut, terlihat dari kedua matanya yang melotot saat mendengar jawabanku.
"Kok bisa sih papa lebih milih ngasih lo ketimbang gue?!" serunya dengan ekspresi kesal.
Aku mengangkat bahuku tanda tak peduli, namun sepertinya itu malah membuat Jollyn semakin marah.
"Siniin nggak novelnya! Itu punya gue!"
Jollyn berjalan dengan cepat ke arahku. Melihat itu, dengan refleks aku menyembunyikan novel itu di belakang tubuhku berhasil membuat gadis itu menggeram kesal.
Kemudian ia berlalu dari kamarku dengan langkah kaki besar dan juga kasar. Suara hentakan kakinya terdengar begitu jelas di telingaku kala gadis itu menjauh dari ruanganku.
"Papa!!" Jollyn berteriak memanggil om Harga.
—🌂☂️—
"Oma." Aku membuka pintu kamar oma perlahan sambil mengintip isinya. Tapi wanita tua itu tidak ada di dalam kamar, jadi aku kembali menutup pintunya.
Aku membawa langkahku ke halaman depan, kemudian ruang tamu, ruang laundry, ruang tamu lagi, namun tak ada tanda-tanda keberadaan oma.
Hingga mataku melihat ke arah dapur yang pintunya tidak di tutup. Aku melangkah untuk mendekat ke arah dapur, berniat untuk menutup pintunya sekaligus mencari oma.
Namun saat langkahku mulai berada di area tempat memasak itu, aku dibuat terbelalak kala melihat sapu tangan unguku tergeletak begitu saja di lantai dengan keadaan yang sudah tak berbentuk. Seolah-olah kain kecil itu baru saja dibakar dan dibiarkan gosong dengan sendirinya. Nafasku bergemuruh, mataku memerah. Aku meraih kain itu dan dengan cepat dan berlari ke kamarku.
Sial.
Sial.
Sial.
Siapa yang tega melakukan ini?
Aku tahu, terakhir kali aku melihat sapu tanganku saat mencucinya tadi pagi dan kutinggal pada tempat jemuran di ruang laundry. Namun sore itu benda itu sudah berpindah tempat dan rusak begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI)
Ficção AdolescenteDunianya berhenti di usia lima belas. Hatinya mati di usia lima belas. Ia kehilangan cintanya yang sempurna di usia lima belas. Violet amat membenci hujan, karena tak ada yang bisa ia salahkan selain air yang jatuh menimpa daratan. Kini, Violet...