Bagian 30 - Sayatan Lukaku Kembali Berdarah

16 1 0
                                    

Hujan masih terlalu egois hingga motor Vespa yang dikendarai Hanggasta sampai di depan gerbang rumahku, miliaran tetes air itu enggan berhenti sejak tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan masih terlalu egois hingga motor Vespa yang dikendarai Hanggasta sampai di depan gerbang rumahku, miliaran tetes air itu enggan berhenti sejak tadi. Aku sudah terlalu menggigil hingga tak mampu banyak bergerak.

Laki-laki itu turun tadi motornya tanpa melepas helm yang terpasang di kepala, lalu dengan begitu saja membawaku masuk hingga sampai di depan pintu rumah. Ia mengangkat tangannya untuk menekan bel disana.

Tak lama kemudian, sosok oma muncul di balik pintu, wajahnya tampak terkejut kala melihat aku dan Hanggasta yang basah kuyup. Ditambah tubuhku yang bergetar kedinginan mampu membuatnya kelabakan. Wanita yang berusia lebih dari setengah abad itu menarikku untuk masuk ke dalam rumah.

"Kalian dari mana, kok basah begini?!" tanyanya dengan raut panik.

"Dari makam mami papi," jawabku dengan bibir bergetar yang kuyakini sudah mulai membiru.

Wanita tua itu langsung membawaku masuk ke dalam kamarnya, tak peduli dengan pakaianku yang sudah membasahi seluruh lantai ruang tamu. Kemudian ia menoleh ke belakang, pada Hanggasta yang masih berdiri di teras rumah sembari mengusap wajahnya.

"Hanggasta, kamu bersih-bersih dulu di kamar mandi tamu, ya, nanti Oma bawain baju ganti."

Laki-laki berkacamata itu mengangguk patuh, lalu mengucapkan kata permisi untuk melewati ruang tamu yang memang sudah basah karenaku.

Oma melepaskan helm yang masih nemempel di kepalaku, lalu memberikan pakaianku yang memang ada beberapa di kamarnya. Ia mendorongku begitu saja menuju kamar mandi dan menutup pintunya, membuatku mendengus dengan kasar.

Aku keluar dari kamar mandi dan langsung disambut dengan jaket tebal di tangan oma, ia memasangkannya ke tubuhku dengan buru-buru seolah aku sedang sekarat. Padahal, aku hanya kehujanan.

"Hanggasta mana?" tanyaku ketika wanita itu sibuk dengan kegiatannya.

Ia berhenti seketika, lalu menepuk dahinya begitu saja.

"Oh, iya! Oma lupa! Kamu ambilin baju sana di kamar mami sama papimu."

Mendengar itu, aku menyerngit tajam. Menatap penuh tanya kepada oma yang keluar dari kamar menuju ruang laundry, lalu kembali dengan pel di tangannya.

"Kenapa nggak pinjam baju om Harga aja?" tanyaku saat wanita tua itu mulai membersihkan sisa-sisa air di lantai.

"Dia belum pulang, nggak enak kalo asal ngambil."

Aku mendengus, lalu dengan begitu saja melangkah menuju tangga untuk pergi ke lantai dua, ke kamar yang jujur saja sangat aku hindari.

Aku diam sejenak di depan pintu kamar bercat putih polos itu, sedikit ragu untuk mengangkat tangan dan memutar kenopnya. Ada banyak hal yang tak ingin aku bawa ke permukaan, termasuk pergi ke dalam kamar kedua orang tuaku dengan jutaan kenangan di dalamnya. Namun kali ini, untuk pertama kali setelah kematian mereka tiga tahun lalu, aku akhirnya berdiri di atas segala sakit yang masih terasa begitu jelas.

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang