"Hujan tak pernah jahat, ia hanya melunturkan sakitmu."
Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti menjadi pusat dunia. Seumpama sebuah lingkaran, maka aku adalah porosnya.
_____☂_____
"Tapi kalau hujan turun, mereka bakal hilang." Begitu responku kala membaca bait-bait Indah dari jemari laki-laki di sebelah.
Hanya ada kekehan pelan yang terdengar. Selebihnya, keheningan yang mendominasi. Entah Hanggasta tak mau menjawab, atau justru tak punya jawaban.
Namun nyatanya aku salah besar. Setelah kesunyian cukup panjang itu, si laki-laki berkacamata akhirnya buka suara.
"Katanya, mereka nggak papa, asal aku bisa sama kamu."
Aku mengerutkan dahi lalu terkekeh.
"Kenapa jadi aku-kamu, sih? Biasanya kan pake gue-lo."
Hanggasta mengukir senyum tipis, yang bahkan hampir samar. Tapi manisnya gula yang terkandung di dalamnya jelas tak akan pernah memudar.
"Orang pacaran harus pake aku dan kamu. Biar manis, kata Kunang-kunang."
_____☂_____
"Gue cantik banget, ya?"
Mendengar pertanyaanku, Hanggasta justru menggeleng, sanggup membuatku menaikkan sebelah alis.
"Pake aku, Violet."
Helaan nafas pelan keluar dari bibirku.
"Aku cantik banget, ya?"
Kali ini, Hanggasta mengangguk. Lagi-lagi disusul dengan senyuman manis.
"Mau aku jabarin dengan segala hal di dunia, mereka semua kalah telak. Kepercayaan diri mereka turun sampai mata kaki kalau liat kamu. Aku jamin."
_____☂_____
"Kamu inget, nggak, waktu pertama kali kita pulang bareng?"
Pertanyaan itu muncul dari Hanggasta, sedangkan aku yang mendengar lantas berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat tentang momen yang ia maksud.
"Yang naik bus," katanya lagi.
Hingga akhirnya aku menganggukkan kepala tanda bahwa aku ingat itu semua.
Jaket kulit pertama, sapu tangan pertama.
"Malam harinya, aku langsung nulis puisi ini."
Alisku terangkat sebelah.
"Bukannya kamu sakit waktu itu?"
Hanggasta mengangguk pelan, tak lupa dengan senyuman yang menyusul.
"Aku nulisnya sambil sakit." Laki-laki itu mengusap tengkuknya sendiri.
"Kamu sayang banget, ya, sama aku?" tanyaku yang dibalas dengan kekehan singkat.
"Menurutmu, aku sayang atau enggak?"
"Sayang."
Hanggasta tersenyum miring, dan aku sama sekali tak mengerti apa maksud dari senyuman itu.
"Iya. Kenapa, sayang?"
Hingga sedetik kemudian, jawaban dari Hanggasta sanggup membuatku refleks meninju pundak kirinya begitu saja.
"Anjing! Gombalan jaman kapan itu?!"
_____☂_____
Aku ingin meminta tolong pada sang pemilik semesta. Tolong hentikan waktu ini sekarang juga. Atau jika tak bisa, tolong perlambat dentingan waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI)
Teen FictionDunianya berhenti di usia lima belas. Hatinya mati di usia lima belas. Ia kehilangan cintanya yang sempurna di usia lima belas. Violet amat membenci hujan, karena tak ada yang bisa ia salahkan selain air yang jatuh menimpa daratan. Kini, Violet...