Bagian 32 - Pengakuan Yang Tak Disangka-sangka

13 2 0
                                    

Kakiku menginjak anak tangga paling atas, ingin turun dari kamar menuju lantai satu sembari mengekori Hanggasta yang berjalan di depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kakiku menginjak anak tangga paling atas, ingin turun dari kamar menuju lantai satu sembari mengekori Hanggasta yang berjalan di depan.

Setelah segala hal tak terduga yang sukses membuatku tak mampu berkata-kata, laki-laki itu justru berlagak seolah tak terjadi apa-apa.

Bahkan sesudah ia menjatuhkan bibirnya pada punggungku, Hanggasta dengan enteng mengajakku keluar kamar untuk turun dari lantai dua. Katanya, perutnya keroncongan sebab belum mengunyah makanan sejak tadi siang.

Aku berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan Hanggasta yang membuka tudung saji lebar di atas meja makan dengan raut yang terlihat seolah tak sabaran. Namun, begitu tudung putih itu terangkat, wajahnya berubah seratus persen menjadi tak bersemangat.

Aku mengangkat satu alisku, lalu mendekat dan mengintip makanan di atas meja itu.

Kini aku mengerti mengapa wajah antusias itu luntur dalam sedetik.

"Ini seafood, kan?" tanya Hanggasta ketika aku berhasil melihat wajahnya yang tampak lesu.

"Iya," jawabku sembari melangkah ke lemari putih di atas meja kompor.

"Gue lupa kalo lo alergi makanan laut. Mau dimasakin yang lain, nggak?"

Hanggasta mengangguk heboh kala mendengar pertanyaanku. Ia terlihat begitu bersemangat.

"Lo bisa masak?" tanyanya saat aku mulai membuka lemari itu. Aku menggeser sebuah kursi kecil di depan wastafel dengan kakiku untuk naik dan mengambil mie instan karena letak lemarinya cukup tinggi.

Aku mengangguk, namun menggeleng kemudian.

"Nggak bisa. Tapi kalau masak telur ceplok sama mie instan bisa. Nggak papa, kan?"

Tampaknya Hanggasta sama sekali tak keberatan, ia berjalan mendekatiku dan dengan begitu saja meraih mie instan yang ingin kuambil sebelum aku naik ke kursinya.

"Makasih," ucapku sembari menyunggingkan senyum tipis.

"Lo duduk aja sana, biar gue yang rebus mienya," lanjutku lagi, laki-laki berkacamata itu menurut, ia berjalan menjauh dan menjatuhkan pantatnya pada salah satu kursi di meja makan.

Air pada panci kecil di atas kompor sudah kuisi seperlunya, lalu jari-jariku menghidupkan api dari kompor itu dan beralih membuka bungkus mie instan tersebut.

Namun suara pintu dapur yang dibuka tiba-tiba berhasil membuatku mengalihkan perhatian. Aku menoleh pada sumber suara dan mendapati Jollyn yang berjalan secara perlahan ke arahku.

Gadis itu melirik panci berisi air di atas kompor, lalu ia memindahkan pandangannya padaku yang sedang menggunting bungkus bumbu mie instan tadi, dan terakhir, Jolly menolehkan kepalanya menuju Hanggasta yang duduk pada kursi di depan meja makan.

"Kok ada Hanggasta di sini?" tanyanya, dan itu sanggup membuatku menghentikan kegiatan.

"Oh, itu... Gue minta maaf. Tadi sore kita kehujanan, terus Hanggasta disuruh nginap sama oma soalnya hujannya nggak reda-reda." Aku menjelaskan semuanya, takut-takut jika gadis itu salah paham dan berujung memusuhiku lagi.

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang