Bagian 6 - Senyum Seumpama Gula

30 6 0
                                    

"Aku ingin menjadi pelita abadi, supaya mampu meradiasi dua hitam putihmu."

-Hanggasta Bahir.

_____☂_____

Aku berjalan dengan santai menuju dimana mobil dan supirku berada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berjalan dengan santai menuju dimana mobil dan supirku berada. Setelah satu hari penuh amarah juga mood-ku yang berantakan, akhirnya aku pulang juga.

Hingga terdengar seseorang memanggil namaku. Awalnya aku berusaha cuek dan tidak peduli, tapi seruan itu terdengar berkali-kali hingga aku tak sanggup untuk mengabaikannya.

Aku berbalik dan mendapati Hanggasta berlari ke arahku, membuat dengusan kasar terdengar dari hidungku.

Mau apa lagi orang ini?

"Balik sama gue, yuk?" ajaknya. Sesungguhnya, tawaran itu sama sekali tidak menarik di mataku, jadi aku dengan cepat menolak.

"Lain kali, ya, gue udah di jemput," jawabku sambil melihat ke arah supirku yang menunggu.

Hanggasta mengikuti arah pandangku, kemudian ia tersenyum dan berlari ke arah pak Hamri.

Aku kelabakan, Hanggasta sama sekali tidak tertebak. Apa maksudnya ia mendekati pria tua itu?

Aku turut mendekat ke arah mereka berdua yang terlihat sedang berbincang. Hingga pada akhirnya supirku kembali masuk ke dalam mobil dan pergi tanpa aku di dalamnya. Aku kaget setengah mati.

"EH, PAK! KOK AKUNYA DITINGGAL SIH?!" Aku berteriak. Kemudian menatap nanar mobil yang sudah jauh itu.

"LO NGOMONG APA SAMA SUPIR GUE?!" Aku membentak kemudian menjambak rambut belakang Hanggasta hingga ia mengaduh kesakitan. Mataku sudah berkaca-kaca dan sangat siap untuk menangis sekarang juga.

Mengapa semua orang sangat menyebalkan?! Mengapa tidak ada satupun dari mereka yang memihak kepadaku?!

"Eh, jangan nangis!" Hanggasta kelabakan saat aku mulai mengusap kedua pipiku yang sudah dijatuhi air mata.

"Diem, anjing!" Aku berjongkok ditempat itu juga, tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadaku.

Hanggasta turut mengikutiku, ia berjongkok tepat di sebelahku.

"Maaf...," ucapnya sangat pelan.

Aku masih menangis, sama sekali tidak ingin menyahut ucapan laki-laki sialan ini.

"Violet...."

"Maafin gue...."

Aku masih memilih diam, tapi Hanggasta begitu keras kepala. Ia tak henti-hentinya memanggil namaku dan juga mengucapkan maaf bahkan lebih dari seratus kali dalam waktu sepuluh menit, itu sanggup membuat kepalaku terasa pusing.

Aku berdiri, berjalan dengan cepat untuk menjauhi Hanggasta, keluar dari gerbang lalu menyusuri trotoar dan akhirnya duduk di halte bis dekat sekolah.

Semuanya terasa kacau hari ini, semuanya berhasil membuatku terasa berantakan. Aku muak. Benar-benar muak.

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang