Benar saja, semuanya akan jauh lebih mudah jika tak ada perseteruan. Layaknya bulan yang sempat membenci gelap, ia juga tak pernah tau bahwa dirinya bersinar terang karena kebaikan malam. Nyatanya, segala hal harusnya baik-baik saja, seperti kertas kosong yang diisi oleh majas dan diksi, membuat ia kian terlihat cantik.
Aku tak pernah menyangka, kerasnya hati Jollyn berhasil luluh entah karena siapa. Meski aku sempat tak mempercayai ini semua, nyatanya ia berhasil mengambil kembali hatiku yang sempat membencinya.
Setelah segala air mata yang ditumpahkan tadi malam, gadis itu menahanku untuk beranjak dari ruangannya, memintaku untuk ikut memejamkan mata di atas tempat tidurnya. Aku ingin menolak, namun urung sebab tidak tega.
Pagi ini, aku mengeluarkan kepalaku dari jendela mobil yang kacanya sengaja ku buka, lalu memanggil Jollyn yang sedang memasang sepatunya di teras rumah.
"Jollyn!" teriakku sembari melambaikan tangan. "Sini!"
Gadis itu menaikkan satu alisnya, rautnya terlihat bertanya-tanya.
"Lo ikut gue aja," ucapku ketika ia sudah mendekat.
"Tapi supir yang nganter gue sama papa udah siap," jawabnya lalu melihat ke arah mobil lain di halaman rumah. Aku mengikuti arah pandangnya kemudian terkekeh.
"Yang itu buat om Harga aja, lo ikut gue. Lagian sepi banget ni mobil isinya cuma dua orang. Ya kan, pak?" Aku kembali memasukkan kepalaku ke dalam mobil, membiarkan supirku untuk menjawab. Pria tua itu mengiyakan dan tersenyum.
Aku membuka pintu mobil itu, mempersilahkan Jollyn untuk turut masuk ke dalamnya. Gadis itu menurut, ia masuk lalu duduk dengan tenang.
Perjalanan menuju sekolah diisi dengan perbincangan seru yang terus-terusan terdengar dari aku dan sepupuku, supir pun ikut sedikit menimpali ketika kami sedang asik berbincang. Semuanya tampak membaik seratus persen, tak ada lagi lirikan sinis satu sama lain, tak ada keheningan yang menjadi paling egois, apalagi perdebatan yang sangat amat tak penting.
Harusnya memang begini sejak dulu, harusnya rasa marah yang ada di dalam diri masing-masing tak tertahan hingga berkarat dalam hati. Pada kenyataannya, kami memang tak pernah merasa jauh, meski perang dingin yang menjadi juara sejak bertahun-tahun lalu, aku dan Jollyn tak pernah se asing itu. Kami mengenal satu sama lain, lebih dari sekedar hubungan antar sesama sepupu perempuan.
Kami pernah seerat perangko, kemudian dipisahkan oleh kejadian besar yang menciptakan jurang pembatas yang amat dalam.Mobil berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Aku dan Jollyn serentak membuka pintu mobil, lalu berjalan secara derdampingan, mampu menarik seluruh perhatian penghuni sekolah. Aku tau ini pemandangan langka karena sejak masuk SMA, aku dan Jollyn tak pernah merasa dekat. Masa SMP adalah salah satu saksi betapa eratnya kami dahulu.
Kami berpisah di koridor menuju kelas masing-masing. Suasana hatiku sangat bagus, persis seperti cuaca pagi ini, tanpa mendung dan hujan sama sekali.
Aku masuk ke kelas dan disambut oleh lambaian tangan ketua kelas yang kini tersenyum lebar. Aku duduk di kursiku tanpa memperdulikan segala tingkah anehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI)
Novela JuvenilDunianya berhenti di usia lima belas. Hatinya mati di usia lima belas. Ia kehilangan cintanya yang sempurna di usia lima belas. Violet amat membenci hujan, karena tak ada yang bisa ia salahkan selain air yang jatuh menimpa daratan. Kini, Violet...