Aku memegang kepalaku yang mulai terasa pusing, setiap kata yang diucapkan Hanggasta pada pengeras suara sekolah tadi sanggup membuat aku sangat malu. Ini bukan seratus persen lagi, melainkan seribu persen. Aku tak pernah semalu ini sebelumnya.
Tubuhku masih berada di pojok kelas saat aku mendengar suara pintu yang dibuka.
"Lo ngapain sih pake bikin pengumuman segala?!" Suara gerutuan dari mulut Darian sampai ke telingaku.
"Emang kenapa? Kan biar nggak ada salah paham lagi." Jawaban santai dari Hanggasta berhasil membuat aku tambah kesal.
"Cuma orang gila yang ngelakuin hal kayak tadi." Kalimat Darian mampu membuat Hanggasta terkekeh.
Suara langkah kaki berhenti tepat di depanku yang masih duduk di pojok ruangan.
"Hei..." Itu suara Hanggasta.
Panggilan itu membuat aku mengangkat kepalaku yang tertunduk. Sudah dipastikan penampilanku sekarang persis seperti seorang gelandangan.
Hanggasta berada di sana, berjongkok di hadapanku dengan tatapan iba, seolah ia sedang melihat seekor anak anjing yang terlantar. Sedangkan Darian berdiri di belakangnya dengan raut wajah datar.
Aku mendengus kasar saat laki-laki itu meraih tanganku untuk diajak berdiri. Tangan itu dengan cepat kutepis lalu beranjak sendiri dan duduk di kursiku.
Kedua laki-laki itu mengikuti, suara kursi yang diseret terdengar begitu saja disusul dengan duduknya kedua manusia itu di dekatku.
"Jangan ngikutin gue mulu!" ucapku ketus sambil menatap tajam kearah keduanya.
Masih sama. Hanggasta dengan wajah iba nya dan Darian dengan raut datarnya.
"Kenapa, Violet?" tanya laki-laki berkacamata kepadaku yang kini hanya bisa pasrah.
"Gue malu!"
Wajah Hanggasta seolah bingung, ia menoleh ke arah Darian.
"Emang iya?"
Darian menghela nafas saat mendengar pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu.
"Lo emang malu-maluin. Kalo jadi Violet, gue bakal ngubur diri sendiri, sih," ucap laki-laki beralis tebal itu masih dengan wajahnya yang tanpa ekspresi. Kupikir ia sama lelahnya denganku.
"Perasaan gue ngelakuin hal normal, deh." Hanggasta menggaruk kepalanya sendiri dengan wajah sok polos yang sanggup membuat aku ingin menamparnya.
"Lagian lo ngapain, sih?! Bukannya biarin guru aja yang ngomong." Darian sudah mulai meninggikan intonasi bicaranya, maka bisa dipastikan laki-laki itu juga jengkel.
"Biar jelas. Gurunya juga nggak ngelarang gue ngomong sendiri."
Darian mengacak-acak rambutnya sendiri, seolah sudah terlalu bingung untuk menghadapi manusia gila di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI)
Roman pour AdolescentsDunianya berhenti di usia lima belas. Hatinya mati di usia lima belas. Ia kehilangan cintanya yang sempurna di usia lima belas. Violet amat membenci hujan, karena tak ada yang bisa ia salahkan selain air yang jatuh menimpa daratan. Kini, Violet...