Bagian 28 - Terimakasih Untuk Hanggasta

10 1 0
                                    

Hari minggu datang lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari minggu datang lagi. Kali ini, aku terbangun pagi-pagi sekali karena suara dering telepon yang terus-terusan berbunyi berhasil mengganggu tidur nyenyakku. Hanggasta menelpon, mengajak untuk keliling kota dengan motor vespa hitam yang katanya baru dicuci. Aku sempat berpikir sejenak sebelum mengiyakan ajakan itu, mengingat aku jelas tak punya agenda setiap hari minggu. Aku juga sempat merasa bingung tentang Hanggasta yang bisa mengetahui nomor ponselku karena kami tak pernah bertukar kontak sebelumnya. Namun sedetik kemudian aku baru sadar, kemungkinan terbesar adalah Darian yang memberikannya.

Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi ketika aku bangkit dari tempat tidur untuk mandi dan menyiapkan diri. Katanya, laki-laki berkacamata itu sudah siap berangkat menuju rumahku untuk menjemput.

Kupikir ia terlalu bersemangat.

Aku baru keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang masih menempel pada tubuh ketika ketukan pintu beserta teriakan dari luar kamarku terdengar.

"Violet! Ada temenmu nyariin!" Itu suara oma, ia berseru di balik pintu.

"Cowok apa cewek?!" tanyaku sambil berteriak juga dengan kedua tangan yang sibuk membuka lemari pakaian.

"Cowok! Yang waktu itu pernah jenguk kamu!"

Sudah jelas itu Hanggasta. Aku masih terus memilih-milih baju di dalam lemari.

"Suruh tunggu dulu, Oma!" ucapku dan sedetik kemudian terdengar suara langkah yang menjauh dari pintu kamarku. Aku bernafas lega dan melanjutkan segala aktivitasku dengan tenang.

Aku melirik arloji di tangan tepat setelah selesai mengurus rambutku. Waktu menunjukkan pukul delapan dan itu artinya aku sudah menghabiskan waktu selama satu jam.

Dengan buru-buru aku membuka pintu kamar dan menginjakkan kaki satu persatu pada anak tangga. Di ruang tamu, terlihat Hanggasta yang sedang asik berbincang dengan oma, dan satu orang yang ikut berada di sana berhasil membuatku mengerutkan kening. Tante Desi terlihat ikut tertawa bersama dua orang yang kini duduk di sofa.

Aku sampai di anak tangga yang terakhir, ketiganya serentak menoleh ke arahku dan itu cukup untuk membuat suasana jadi canggung. Aku berjalan perlahan untuk mendekat dan disambut kekehan ringan dari oma.

"Mau ngedate, toh?"

Aku sontak menggeleng heboh dengan raut panik, membuat tawa tercipta di antara mereka bertiga.

"Temenan doang!"

Sebenarnya ada satu hal yang cukup mengganjal daritadi, dan kini aku semakin dibuat kebingungan. Sejak kapan tante Desi bisa jadi seasik ini? Dan sejak kapan pula ia sudi untuk mengukir senyum di hadapan semua orang, terutama aku?

Lamunanku buyar ketika Hanggasta bangkit dari duduknya dan menepuk pundakku beberapa kali. Ia beralih untuk mendekat ke arah oma dan tante Desi bergantian, menyalami mereka sambil tersenyum. Aku dibuat lumayan terkejut saat oma mengangkat tangannya untuk mengusap rambut laki-laki itu. Sudah sejauh apa kedekatan mereka?

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang