"Percakapan pertama, sentuhan pertama, perhatian pertama. Aku jatuh cinta detik itu juga."
-Hanggasta Bahir
_____☂_____
Aku dan Hanggasta semakin mempercepat langkah saat keluar dari gerbang sekolah untuk menuju halte bis terdekat, dan saat sampai di halte itu, aku langsung berteduh disana dan memeras ujung rok sekolahku yang cukup basah karena nyatanya jaket kulit Hanggasta hanya mampu untuk melindungi bagian atas tubuhku saja.
"Sorry, ya. Rok lo basah." katanya dan aku hanya mengangguk sambil terus mengeringkannya.
Dan saat aku merasa cukup, aku menoleh ke arah Hanggasta yang sedang mengusap wajah basahnya.
"Maaf juga, lo jadinya basah banget," ucapku, sedikit merasa bersalah.
"Nggak papa, gue udah biasa." Hanggasta justru tersenyum, menampakkan deretan giginya yang rapi.
Ah, manis sekali.
"Dingin?" tanyaku dan ia mengangguk.
Aku membuka tas ranselku dan merogoh isinya untuk mencari sebuah sapu tangan berwarna ungu yang biasa aku bawa, dan menyerahkannya kepada Hanggasta.
"Keringin rambut lo," ucapku sembari menjulurkan tangan. Ia mengambil sapu tangan itu sambil tersenyum dan mulai menggosok rambutnya.
Aku sadar bahwa sapu tangan itu terlalu kecil untuk benar-benar membuat rambut Hanggasta kering sepenuhnya, tapi setidaknya kepalanya tidak membeku.
Bis terakhirnya datang selang beberapa menit, Hanggasta segera mengajakku untuk naik.
"Maaf ya, Pak, baju saya basah," kata Hanggasta kepada supir bis itu dan dibalas dengan tertawaan khas bapak-bapak.
"Ndak papa, Mas, saya maklum kok harinya hujan begini," jawab supir bis itu dengan ramah.
Selama perjalanan, entah sudah berapa kali aku terus menerus bersin hingga Hanggasta bertanya kepadaku.
"Lo kenapa? Sakit?"
Aku menggeleng.
"Tapi lo bersin mulu dari tadi," katanya.
"Gue nggak papa, emang selalu begini kalo kedinginan," jawabku dan ia mengerutkan kening.
"Lo alergi dingin?" tanyanya dan jujur saja aku tidak pernah kepikiran tentang ini sebelumnya.
"Mungkin," jawabku seadanya.
"Lain kali bawa jaket, ya, sekarang lagi musim hujan dan udaranya lebih sering dingin. Jangan lupa bawa payung kemana-mana. Kalo kayak tadi kan jadinya ribet," ucap laki-laki itu berhasil membuatku mengerutkan kening.
Ah, sial. Aku bahkan melupakan hoodie unguku yang tertinggal di dalam kelas.
"Lo yang ngajak gue hujan-hujanan, ya!" Aku menatapnya tajam dan itu membuatnya terlihat canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI)
Ficção AdolescenteDunianya berhenti di usia lima belas. Hatinya mati di usia lima belas. Ia kehilangan cintanya yang sempurna di usia lima belas. Violet amat membenci hujan, karena tak ada yang bisa ia salahkan selain air yang jatuh menimpa daratan. Kini, Violet...