Bagian 25 - Setitik Keberanian

12 1 0
                                    

Setelah segala drama yang terjadi beberapa hari belakangan, dimana Hanggasta dengan tiba-tiba mendiamiku dan itu sanggup membuatku bertanya-tanya, pengakuan cinta untuk kedua kalinya, juga perdebatan kecil yang terjadi berkali-kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah segala drama yang terjadi beberapa hari belakangan, dimana Hanggasta dengan tiba-tiba mendiamiku dan itu sanggup membuatku bertanya-tanya, pengakuan cinta untuk kedua kalinya, juga perdebatan kecil yang terjadi berkali-kali. Sekarang, semuanya terasa seperti semula, laki-laki berkacamata itu kembali banyak bicara, tingkah menyebalkannya kembali naik ke permukaan.

Entah sudah berapa kali aku berdecak tak suka kala Hanggasta terus-terusan mengajakku bicara, dan entah sudah dengusan kasar keberapa yang sudah aku hembus.

"Pulang nanti bareng gue, yuk?"

Laki-laki itu bertanya dari belakang, sambil terus-terusan mencolek bahuku dengan pulpen di tangannya.

"Naik apa?" Aku balik bertanya tanpa menoleh untuk melihat wajahnya.

"Motor, lah. Emang apa lagi?"

Aku mengangguk-angguk, sedetik kemudian menggeleng.

"Nggak mau, ah, takut hujan."

Terdengar helaan nafas dari belakang, disusul dengan kesunyian panjang yang mampu membuat aku penasaran lalu membalik badan untuk melihat. Hanggasta hanya diam dengan wajah murung, lalu ia melihat ke arahku dengan mata yang memelas, dan itu membuatku mengerutkan dahi.

Laki-laki ini sepertinya ingin merayu.

"Please..."

Sialan. Mengapa Hanggasta bertingkah seolah-olah ia adalah anak TK yang meminta dibelikan eskrim?!

Kerutan di dahiku semakin tajam, laki-laki itu tak henti-hentinya menatapku dengan pandangan yang cukup membuatku merasa geli.

"Stop liatin gue kayak gitu!"

Hanggasta berdecak, ia menegakkan duduknya lalu memandang lurus ke arahku, kali ini dengan tatapan serius.

"Makanya, jangan nolak."

Aku melihatnya dengan sinis, menggerutu tak jelas dan itu membuat Hanggasta menaikkan satu alis.

"Gimana?" tanyanya saat aku tak kunjung menjawab.

"Ya udah."

"Ya udah apa?"

Aku berdecak, haruskah aku mengatakannya? Aku diam sejenak dan itu nampaknya membuat Hanggasta sangat penasaran, bisa dilihat dari raut wajahnya yang bertanya-tanya dengan penuh harap.

"Mau."

Laki-laki itu berseru senang, terlihat sangat antusias kala aku mengiyakan ajakannya. Sedangkan aku hanya bisa menghela nafas pelan.

Entah mengapa aku bisa menerima ajakan itu, harusnya aku menolak saja, harusnya aku pulang bersama supir saja, itu bahkan lebih baik karena aku tak perlu khawatir mengenai hujan yang akan turun. Namun, ada secuil dari hatiku yang mengatakan bahwa aku harus ikut dengan Hanggasta, bahwa kali ini aku tak boleh menolak.

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang