Bagian 29 - Mendekap Gulita

34 1 0
                                    

"Bawa aku dalam ombakmu, sampai pada pulau terpencil yang hanya berisikan rasa sakit. Tenggelamkan aku di ufuk barat, sampai aku mati dan melebur dalam pelukan cakrawala. Jatuhkan aku dari gunung tertinggi di semesta, agar aku tahu, bagaimana rasanya remuk yang dulu kau diamkan."

-Hanggasta Bahir

_____☂_____

"Mau pulang?"

Hanggasta bersuara tepat setelah aku memakan habis seluruh telur gulung di tanganku. Aku menggeleng pelan dan bangkit dari kursi panjang yang menjadi tempat aku dan laki-laki berkacamata itu duduk.

"Lo anterin gue dulu, mau?"

Hanggasta tampak heran, ia turut berdiri sembari mengambil boneka beruang yang masih tergeletak di kursi.

"Kemana?" tanyanya.

"Kuburan."

Laki-laki itu tertegun, mungkin terkejut dengan ucapanku barusan. Aku hanya diam sambil menunggu jawabannya. Tapi, alih-alih menjawab, Hanggasta justru berjalan kearah Vespa hitamnya yang terparkir di bawah pohon ketapang di pinggir jalan.

"Ayo!" katanya sambil berseru, lalu menghidupkan mesin kendaraannya. Aku tak tau mengapa ia kelihatan bersemangat.

"Keburu sore, Violet." Laki-laki itu menjadi yang paling banyak bicara, entah karena sengaja ingin menghibur, atau semuanya terucap begitu saja sebab Hanggasta memang suka mengoceh.

Aku tersenyum tipis kemudian berjalan mendekat ke motor yang ia naiki. Laki-laki berkacamata itu dengan sigap memasangkan helm di kepalaku seperti biasa, namun kali ini dengan senyum lebar yang seolah dibuat semanis mungkin. Nyatanya, aku selalu tak mampu untuk menatap lengkungan bibir itu, wajahnya yang kerap menyunggingkan senyum selalu menjadi hal yang paling aku hindari.

Ada banyak alasan mengapa aku selalu tak punya keberanian untuk menatap bibir tipisnya. Salah satunya adalah karena aku takut diabetes. Senyuman laki-laki itu sudah terlalu manis sejak pertama kali aku melihatnya, yang sialnya selalu kusangkal dalam hati. Aku memang denial, aku selalu memanipulasi otakku sendiri untuk tak terlalu larut ke dalam lengkungan bibir yang jelas mampu membuatku terpana jika aku tak menahan diri. Aku terus mencatatnya dalam hati, bahwa senyuman itu tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan segala sikapnya yang menjengkelkan.

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang