Bagian 31 - Sengatan Listrik

15 1 0
                                    

Aku berdiri dengan tangan yang menyangga pagar pembatas pada balkon kamarku sembari memandangi hujan yang enggan mereda sedari tadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berdiri dengan tangan yang menyangga pagar pembatas pada balkon kamarku sembari memandangi hujan yang enggan mereda sedari tadi. Entah sudah berapa jam sejak tetesan pertama turun, yang pasti tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan berhenti. Cahaya dari kilat tampak bersahut-sahutan, beberapa kali sanggup membuatku menutup kedua telinga dengan mata yang terpejam sebab takut dengan gemuruh setelahnya.

Semua ini terjadi ketika hujan turun, meski aku sudah sudi untuk membiarkan air itu membasahi tubuhku, nyatanya aku masih tak menyukai hal itu. Suara berisik airnya, guntur yang terkadang mengejutkan, angin kencang yang mampu membuat kepalaku beku, atau sekedar genangan air yang ia tinggalkan.

Ketukan dari pintu kamarku terdengar, aku menoleh ke belakang lalu menyahut tanpa bergerak sedikitpun dari posisiku berdiri.

"Masuk aja!"

Laki-laki dengan rambut yang sudah mulai panjang muncul dari balik pintu. Ia berjalan mendekat, lalu ikut menyangga tubuhnya di pagar balkon.

"Lo belum pulang?" tanyaku tanpa menoleh.

Aku bisa menangkap dari lirikan mata, laki-laki itu menggeleng pelan sembari menatap ke langit gelap tanpa bintang.

"Gue dipaksa nginep sama oma. Lagipula, hujannya nggak mau berhenti."

"Lo udah ngasih tau tante Arma?"

Hanggasta mengangguk. "Udah."

"Udah ngasih tau papa lo juga?"

Terdengar helaan nafas dari sebelah. Itu mampu menarik perhatianku untuk menoleh ke arahnya yang kini sedang menunduk.

"Nggak perlu, udah cerai."

Satu detik setelah Hanggasta mengatakan itu, aku hanya bisa menampilkan ekspresi melongo seperti orang bodoh. Aku cukup terkejut dengan perkataannya barusan yang terdengar sangat enteng seolah tak ada beban yang ditanggung.

"Sorry, gue nggak tau."

Si laki-laki yang lebih tinggi terkekeh pelan, ia bergerak sembari menggeser tubuhnya untuk semakin dekat denganku, lalu merangkul pundakku dengan santai.

"Nggak papa, lagian gue bersyukur udah nggak serumah sama dia."

"Kenapa?"

"Pertama, dia orangnya kasar. Gue pernah lihat di depan mata, tu orang mukul mama. Gue yang nggak terima langsung ngajak dia berantem detik itu juga. Walaupun akhirnya gue babak belur, sih."

Aku tak tau harus merespon bagaimana, juga sama sekali tak menyangka bahwa keluarga laki-laki itu cukup hancur. Aku bisa membayangkan posisinya dengan sangat baik, dan aku jamin bahwa aku tak punya nyali sebesar itu untuk mengajak orang tuaku sendiri berkelahi. Tapi Hanggasta bercerita dengan wajah lempeng, begitu datar dan bahkan akhir kalimatnya pun ia selesaikan dengan kekehan pelan. Kupikir ia berusaha menghibur dirinya sendiri.

Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang