Sudah sekitar sepuluh menit aku duduk di kursi samping kasur rumah sakit milik Hanggasta, dan dua orang tadi belum kunjung kembali, bahkan tanda-tandanya saja belum ada.
Aku menelungkupkan kepalaku pada kedua tanganku yang berada dipinggir kasur. Aku nyaris saja terlelap sampai sebuah usapan pada puncak kepalaku membuat aku terlonjak kaget.
Hanggasta ada di sana, berbaring dengan telapak tangan kanannya yang berada di atas kepalaku. Aku segera mengubah posisiku menjadi duduk dengan tegak.
"Lo udah bangun?" tanyaku sekedar basa basi.
Laki-laki itu tertawa kecil dengan suara parau.
"Belum, gue masih tidur," jawabnya dan itu mampu membuat aku mendengus.
"Nggak lucu!"
Lagi. Ia tertawa, kali ini terdengar lebih lemas.
"Mending lo tidur lagi aja."
"Bosen gue tidur mulu," jawabnya. Aku menghela nafas.
"Tolong tinggiin senderan kasurnya, dong, gue mau duduk," pintanya dan itu segera aku turuti.
"Segini cukup?"
"Iya."
Aku kembali ke tempat awal, duduk di sebuah kursi yang terletak di samping kasur Hanggasta.
"Ini semua bukan salah gue, ya. Lo sendiri yang minta nasi gorengnya."
Hanggasta tersenyum kecil kemudian mengangguk.
"Siapa juga yang nyalahin lo."
"Semua orang nyalahin gue."
"Siapa?"
"Orang-orang di sekolah."
Laki-laki itu diam sejenak.
"Nanti gue jelasin ke mereka," katanya dengan tenang. Lalu aku mengangguk.
"Liat, deh." Hanggasta menujukkan kedua tangannya kepadaku, dan aku baru menyadari kalau di sana terdapat banyak sekali ruam berwarna merah yang aku yakini adalah pengaruh dari alerginya.
Mata laki-laki itu terarah padaku, ia menatapku dengan tatapan memelas seolah-olah ia adalah seorang bayi berusia dua tahun yang begitu membutuhkan belaian juga kasih sayang.
Sial, aku jadi geli sendiri.
"Stop liatin gue kayak gitu!"
Hanggasta menghela nafas berat.
"Marah-marah mulu lo."
"Lo aneh!"
Lagi. Hanggasta menghela nafasnya untuk yang kedua kali. Bahunya meluruh dan kepalanya tertunduk seolah-olah dia adalah manusia yang paling bersedih di muka bumi.
Dengan berat hati aku meraih tangannya, lalu pelan-pelan menyentuh ruam berwarna merah itu dengan jari-jariku.
"Sakit?" Aku bertanya sembari menatap matanya yang sayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Tak Pernah Jahat (SELESAI)
Teen FictionDunianya berhenti di usia lima belas. Hatinya mati di usia lima belas. Ia kehilangan cintanya yang sempurna di usia lima belas. Violet amat membenci hujan, karena tak ada yang bisa ia salahkan selain air yang jatuh menimpa daratan. Kini, Violet...