𑁍𑁍 (P A R T 𑁍𑁍 16) 𑁍𑁍

60 3 0
                                    

✼  ҉  ✼  ҉  ✼ ✼  ҉  ✼  ҉

ABOUT HIM

Beberapa hari setelah liburan itu berakhir, aku kembali menjalani kehidupan yang hambar dan hampa seperti biasanya. Tanpa kusadari, sebenarnya diam-diam aku selalu menunggunya. Sederhana saja, seperti menunggu panggilan telepon ataupun pesan teks darinya. Ponselku terasa sepi akhir-akhir ini. Bahkan sampai saat inipun, ia belum menghubungiku lagi. Hanya saat berada di sekolah saja. Selain itu tidak ada komunikasi lagi diantara kami. Itupun hanya sekedar saling mengucapkan salam selamat pagi. Entah kenapa setelah hari itu menunggu kabar darinya sudah terasa seperti sebuah kewajiban bagiku, sebagai pelindungnya. Bodoh. Aku bahkan memanggil diriku sendiri sebagai pelindungnya.

"Kau! Apa yang kau pikirkan dengan mengajaknya pergi liburan bersama kemarin, hah?!" pekik Zhao Lusi dengan amarah yang tercetak jelas di wajahnya. Ia berjalan menghampiriku tepat saat aku hampir menyelesaikan buku bacaanku. Bagaimana ia tahu jika aku senang menyendiri di balkon belakang gedung sekolah ini? Dan juga bagaimana bisa ia menuduhku seenaknya seperti itu sekarang? Lagipula semua itu bukan ideku. Dari awal ia sendiri yang memaksaku untuk ikut pergi bersamanya. Bahkan aku tidak pernah memintanya sama sekali.

"Kau tahu? Dia itu memang terlihat ceria dan periang. Tapi sebenarnya dia itu sangat lemah dan rentan!" pekiknya sekali lagi.
"Dulu waktu SMP dia bahkan sampai menangis semalaman karena putus dari pacarnya. Juga saat guru favoritnya dipindahkan. Atau saat kedua orangtuanya bertengkar hebat. Hati kecilnya itu mudah sekali patah. Apa kau dengar?!" Semua perkataan Zhao Lusi itu langsung membuat pikiranku melayang. Membuatku mengingat kembali saat liburan waktu itu bersamanya. Tentang apa yang telah kulihat dan apa yang kudengar.

"Dan jika kau tahu yang sebenarnya, sekarang dia sedang sekarat sendirian, Zhao."

"Dia itu sangat lemah. Dia sangat rapuh dan rentan lebih dari apa yang kau bayangkan. Harus ada seseorang yang benar-benar bisa menemani dan menjaganya. Memangnya kau bisa melakukannya?! Sebenarnya apa yang kau pikirkan tentangnya?! Hah?!" Zhao Lusi terus saja memojokkanku. Kali ini aku bisa melihat betapa ia sangat tidak menyukaiku dari sorot matanya yang menatapku dengan tajam. Aku memejamkan mataku sejenak. Dan memilih mengalihkan pandanganku ke arah lapangan basket yang ada di bawah sana.

"Jawab aku!" teriaknya lagi. Ia menarik kerah seragamku dengan kasar dan menyudutkan badanku ke tembok. Hingga buku yang kupegang terlepas dan jatuh ke bawah sana.

"Dengarkan aku baik-baik. Jika kau hanya setengah hati padanya, jangan coba-coba untuk mendekatinya lagi!" Ia lalu melepaskan pegangannya dari kerah bajuku dengan sama kasarnya.

"Jika kau sampai melakukan sesuatu yang menyakiti hatinya, aku tidak akan pernah memaafkanmu! Dan kau akan berhadapan denganku!" Aku masih berdiri terpaku tanpa berhasil mengeluarkan sepatah katapun. Di detik berikutnya, aku melihatnya pergi berlalu dari hadapanku dengan sisa amarahnya. Dan mungkin semua itu belum cukup membuatnya puas. Aku yakin ia masih menyimpan amarah yang begitu besar, bahkan lebih besar lagi, lebih dari ini.

"Zhao Lusi ... kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

•÷•÷•÷•÷•÷•÷•÷•÷•

Aku memutuskan untuk turun ke bawah setelah selesai merapikan seragamku yang sedikit berantakan. Selain berniat untuk pergi ke perpustakaan, aku juga harus segera mengambil kembali bukuku yang sempat terjatuh tadi. Berlomba dengan hujan yang turun cukup deras hari ini. Buku itu terjatuh diantara semak belukar. Dengan sebuah payung yang melindungiku, aku berusaha memungutnya kembali dengan susah payah.

Aku tidak marah pada Zhao Lusi. Tidak sama sekali. Karena dia memang sepenuhnya benar.

Aku memang tidak tahu siapa mantan SMP yang sangat membekas dihatinya itu. Tentang seseorang yang berhasil membuatnya menangis semalaman. Atau tentang kepergian guru favorit yang sangat disukainya. Begitupun dengan pertengkaran hebat yang pernah terjadi pada kedua orangtuanya. Hingga ia harus mengalami dan melalui semua kesedihan itu sendirian. Yang aku tahu ia memang memiliki satu sisi yang lembut dalam dirinya. Ia adalah sosok pribadi yang hangat, menyenangkan dan penuh canda tawa. Namun dibalik keceriaan yang selalu ia tunjukkan di depan semua orang, ia menyimpan sendiri semua kenyataan pahit tentang hidupnya.

Dan untuk mendekatinya, seperti apa yang dikatakan oleh Zhao Lusi. Entahlah. Aku merasa tidak cukup pantas untuk melakukannya. Duniaku dan dunianya begitu berbeda. Seperti siang dan malam. Aku selalu berusaha bersembunyi dan menarik diriku dari dunia luar. Sedangkan ia sendiri senang menunjukkan dirinya. Berusaha membuat siapapun yang berada didekatnya merasakan bahagia. Perasaan macam apa ini? Bahkan hanya memikirkannya saja itu sangat mengganguku.

"Kau lama sekali. Aku sudah menyelesaikan semua tugasnya," sambutnya ketika aku baru saja memasuki perpustakaan dan meletakkan tas ranselku di atas meja. Entah sejak kapan ia sudah berada di sana. Duduk dengan santainya di balik meja penjaga perpustakaan.

"Semua buku juga sudah dikembalikan ke tempat semula," lapornya kembali padaku dengan antusiasnya. Aku mulai memeriksa semua tugas yang telah dikerjakannya satu persatu. Dan ternyata benar. Ia sudah menyelesaikan semua tugasnya dengan baik. Kali ini tidak merepotkanku seperti kebiasaannya.

"Maaf. Aku berbicara dengan seseorang dulu tadi," jelasku padanya. Sementara ia hanya mengangguk mengiyakan.

"Tapi kita jadi tidak bisa bermain di luar kalau hujan begini," keluhnya sambil menghela napas kasar. Sementara aku memilih untuk mengecek ulang kembali data-data yang ada di buku tugas. Tapi justru pikiranku kembali melayang pada obrolanku dengan Zhao Lusi saat di balkon tadi.

"Dia ini begitu membingungkan untukku."

"Hey! Apa kau mendengarku?!" teriaknya dengan nada kesal. Entah sejak kapan ia sudah bergeser tempat dan duduk tepat di sebelah kursiku.

"Apa kau berbicara sesuatu tadi?" tanyaku bingung.

"Kau ini. Aku bilang, ayo datang ke rumahku. Di rumahku tidak ada orang," ajaknya tiba-tiba. Aku tidak langsung mengiyakan ajakannya itu. Yang benar saja. Bukankah itu sebuah ide gila?

"Aku tidak mau. Karena rumahmu dan rumahku berlawanan arah," tolakku akhirnya.

"Lalu? Ya, aku memang tidak terlalu suka membaca. Tapi waktu kecil ada sebuah buku yang menjadi kesukaanku. Kau tidak penasaran?" Aku tahu ia pasti berusaha untuk mengalihkan atensiku sekarang.

"Sedikit. Aku bisa mengerti seseorang dari buku yang disukainya. Jadi buku apa yang kau maksud?" Aku cukup penasaran dengan jawaban yang akan kudengar kali ini. Mengingat ia sendiri tidak hobi membaca buku sama sepertiku.

"Pangeran kecil. Pasti kau pernah membacanya, kan?" Ia terlihat sangat antusias saat melihat responku.

"Saint Exupery?" tanyaku setelah terdiam sebentar.

"Eh! Kau tahu? Karena Itu buku berbahasa asing jadi aku sangat bersemangat. Karena kupikir kau tidak akan mengetahuinya. Aku kecewa!" Wajahnya berubah masam. Ia lalu mencebikkan bibirnya kesal. Melihatnya seperti itu, bagaimana mungkin aku akan merusak semangatnya.

"Jika kau pikir buku Pangeran kecil itu tidak terkenal, aku yakin jika kau memang tidak tertarik sama sekali dengan buku bacaan apapun. Apalagi untuk membacanya," jelasku setengah mengabaikannya.

"Benarkah? Kalau begitu, pasti kau pernah membacanya, kan?" tanyanya penasaran.

"Tidak. Sebenarnya aku belum membacanya." Aku meliriknya yang nampak kembali bersemangat setelah mendengar jawabanku tadi.

"Kau serius? Nanti akan kupinjamkan untukmu. Jadi datanglah ke rumahku. OK? Ayo!" serunya kegirangan yang membuatku cukup kaget. Ia lalu berdiri dari tempat duduknya dan menarik-narik lenganku dengan paksa. Membuatku mau tak mau harus pasrah ditarik olehnya. Ya, memang tidak ada yang bisa memaksaku lebih baik dari dia. Aku serius.

✼  ҉  ✼  ҉  ✼ ✼  ҉  ✼  ҉

-TO BE CONTINUED-

I WANT TO EAT YOUR PANCREASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang