“Jangan melarangku untuk berhenti mencintainya. Karena, aku sendiri tidak tau bagaimana caranya.”
- Putri Altalune Nandya -
.
.
.
.
.***
Happy reading-!
Jangan lupa untuk vote♡***
“Badan Kakak panas. Enggak usah sekolah dulu, ya?”
“Tapi, Bun—”
“Kak, Kakak terlalu banyak memforsir tenaga yang Kakak punya. Apa salahnya kan istirahat untuk satu hari aja? Jangan selalu memaksakan diri, Bunda nggak suka.”
“Iya, Bun. Kakak ngerti. Maaf.”
“Enggak apa-apa. Sekarang Kakak banyakin istirahat, ya, bunda mau buat surat sakit dulu.”
“Iya.”
Bunda mengangguk lalu mengecup singkat kening anak sulungnya. “Dah, tiduran dulu aja, nanti Bunda bawain bubur sama obat sekaligus plester demam buat Kakak.”
Narenza mendelik. “Bun, gak usah pakai plester demam juga,” rengeknya.
Namun, Bunda menggeleng, tanda tidak ingin di bantah.
“Jadi cowok cool boleh, Kak, tapi ngga perlu nolak cuman karena plester demam. Kesehatan itu penting, ngerti?”
“Ish! Bukan gitu, Bun—”
“Terserah, Bunda gak mau denger.”
Bunda terkekeh sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar sang anak. Narenza yang ditinggal hanya bisa menghela napas pasrah sebelum akhirnya dia sendiri ikut tersenyum hangat melihat sikap Ibunya.
Jujur, Narenza merasa beruntung memiliki Ibu hebat seperti sang Ibunda.
“Ngeliat Bunda kadang bikin gue kepikiran sama Nandya.”
Eh?
Narenza tersentak lalu dengan segera meraih ponsel miliknya di atas nakas sana. Beberapa deret pesan dan panggilan muncul setelah data ponsel dinyalakan.
Namun, dari sekian banyaknya nama pengguna yang masuk, hanya salah satu nama yang berhasil mengambil alih atensi Narenza.
Nama penggunanya tertera paling atas, panggilan telepon yang terlewat dan pesan yang belum terbaca baru saja masuk saat Narenza membuka aplikasi tersebut.
Iya, Nandya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOME
Teen Fiction❝𝐀𝐤𝐚𝐧 𝐚𝐤𝐮 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐚𝐤𝐡𝐢𝐫 𝐜𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐤𝐢𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐛𝐚𝐡𝐚𝐠𝐢𝐚,❞ ❝𝐋𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐣𝐢𝐤𝐚 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐦𝐮 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐰𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐢𝐤𝐚𝐧.❞ Bagaimana jika jadinya seorang perempua...